Halaman

01 November 2008

Bibir Bibir Itu Telah Terbungkam

SUARA BIBIRNYA

Bibir-bibir itu telah terbungkam…

Ratusan tahun lamanya….

Yang kala itu dapat terbuka…

Tak hanya berbisik

Namun dengan suara lantang

Berani

Tegas

Dan kuat

Bibir bibir itu mampu bersumpah

Ia

Bagai Petir menggelegar

Di akhir bulan kesepuluh

Meski perjuangan suara-suara itu baru dimulai

Mulai memasuki

merasuki

relung hati dan jiwa

dari tubuh-tubuh insan yang tersiksa

Digerakkannya pikiran

Hati

Dan jemari

Para insan yang baru tumbuh tekadnya

Untuk menghentikan tumbuhnya rasa sakit

Bersama, mereka buka tirai kelam

Agar cahaya kebenaran

Agar udara dan nafas kebebasan

Agar pemandangan kebahagiaan

Masuk dan merasuki

Ruang-ruang hati yang terkunci kesengsaraan

Agar suka cita selalu membahana

Adakah ini yang mereka mau?

Aku

Kita

Dapat menghirup udara bebas

Selalu dalam bahagia

Dalam cahaya-Nya

Kebenaran dan kebajikan

Dalam pelukkan sang Dewi kemakmuran

Ya…

Namun bukan yang ini

Yang melupakannya

Yang memenjaranya dalam barisan kata

Kertas lusuh

Yang seolah tiada bermakna

Terkubur dalam di tanah negeri

Tergerus hempasan tsunami

Letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor

Tergusur gelimang harta

Kebebasan dan kekuasaan

Terlupakan 200 juta anak-anaknya

Yang dihidupinya

Yang didiknya

Hingga kini

Detik ini

Ia tak ingin

Setiap baitnya hanya dihafal

Semalam sebelum kertas-kertas penuh Tanya datang

Tanpa ada yang tahu arti setiap maknanya

Apalagi melaksanakannya

Ia tak pernah minta…

Kata-katanya lembutnya

Menusuknya

Menggetarnya

Hanya digunakan saat menyatakan cinta

Saat merasakan manisnya cinta

Yang kemudian untuk saling memaki…

Memutuskan pertalian hubungan

Selebihnya hanya diganti

dengan deret kata-kata kasar

tak berbudaya dan berestetika

Ia tak akan pernah sudi

Ditumpuki manga tebal

Hiragana

Katakana

kanji

Karya bangsa yang pernah membungkamnya

Merampas bibir-bibirnya

Tidak akan

Tidak akan pernah ia kehendaki

Pergantian isi hati anak-anaknya

Yang tak ingin mengakui kaumnya sendiri

Memaki

Membenci

Mengganti

Dirinya dan kaumnya

Dengan yang lain

Andai ia mampu bicara

Dalam lelah ia menangis

Habis air matanya…

Kurang apa dirinya?

Ia bergelimang emas, minyak bumi dan kekayaan alam

Yang diinginkan setiap insan

Ia gendong anaknya dipunggung rentanya

Apa perlakuan anaknya sekali ia terima

Dengan sabar meski hatinya menangis

Merintih

Namun ketahuilah…

Ia selalu berdoa

Agar anak-anaknya

menjadi pemuda-pemudi yang baik

mengasihinya

selamanya

I. G. A. Gayatri Kancana Dewi_KREATif Mataram (NTB)

1 komentar:

Gayatri Kancana mengatakan...

Tahukah kalian?
Aku menangis sendiri membaca puisi ini....
Aku benar-benar tertusuk kata-kata yang aku tulis sendiri..
T_T
Semoga puisi ini nggak kadaluarsa meski sumpah pemuda udah lewat.