Halaman

11 Januari 2010

Secuil Kisah Dari Potret Buram Proses Hukum Indonesia

Oleh : KREATif Jkt, Raisa Aurora

Pagi ini tidak seperti biasanya saya mendekam di kamar asrama dari pagi hingga sore, untuk mempersiapkan diri menghadapi Ujian Akhir Semester. Sesekali otak ini butuh penyegaran dan saya putuskan untuk jalan pagi melihat warung-warung sekitar asrama membenah dagangannya. Salah satu berita utama harian Kompas (11/01/2010) berjudul “Istri Meninggal, Suami Dipenjara” menarik mata saya. Penasaran, saya membaca keseluruhan berita tersebut. Saya tertegun cukup lama menanggapi isinya. Seorang lelaki tidak bersalah bernama Lanjar Sriyanto (36) terjerat hukum karena dituduh menjadi penyebab kematian istrinya.

Cerita bermula ketika Lanjar baru pulang mudik lebaran dari kampung halaman istrinya, Saptaningsih (37). Bersama anaknya, Sapto (10), Lanjar dan istrinya berboncengan motor. Di tengah perjalanan, mobil Suzuki Carry di depannya mengerem mendadak. Kaget dan kehilangan keseimbangan, Lanjar bersama keluarganya terjatuh dari sepeda motor. Sangat disayangkan, Saptaningsih terlempar jauh hingga melewati marka jalan. Sementara dari arah berlawanan melaju kencang mobil Isuzu Panther, tak terelakkan lagi tubuh Saptaningsih dihantam dan tewas seketika. Lanjar dan Sapto sendiri mengalami luka-luka ringan.

Pada hari tahlilan tujuh hari memperingati meninggalnya sang istri, datang dua orang yang ternyata pemilik mobil Isuzu Panther ke rumah Lanjar. Mereka membawa uang Rp 1,5 juta sebagai uang perdamaian agar masalah tabrak lari ini tidak dilanjutkan ke pengadilan. Mereka juga membawa surat perjanjian perdamaian yang saat itu ditandatangani Taro, adik Saptaningsih.

Dirundung duka mendalam setelah kehilangan istrinya, belum selesai penderitaan Lanjar. Beberapa hari kemudian, saat hendak mengambil kembali SIM dan STNK Lanjar yang ditahan kepolisian pasca kecelakaan, ia justru diperiksa, dibentak-bentak dan langsung dijadikan tersangka atas kecelakaan tersebut. Lanjar yang berasal dari golongan menengah ke bawah, golongan yang selalu menjadi korban pertama segala ketidakadilan termasuk ketidakadilan hukum, digiring ke bui pada tanggal 9 Desember 2009. Usut punya usut, pemilik mobil Panther yang melindas tubuh Saptaningsih adalah anggota kepolisian. Saat ini Lanjar telah mendapat bantuan hukum, namun tetap saja nasibnya masih terombang-ambing menghadapi meja hijau. Lebih ironisnya lagi, Sapto, anak Lanjar, tidak mengetahui kemalangan yang menimpa ayahnya. Lanjar dan keluarga sepakat tidak memberitahukan kenyataan ini kepada Sapto, alih-alih mereka justru mengatakan bahwa ayah Sapto tengah pergi merantau.

Lantaran pemilik mobil yang menewaskan Saptaningsih merupakan anggota kepolisian, Lanjar yang menjadi kambing hitam dan didakwa pidana. Lanjar adalah gambaran penindasan dari orang-orang berkepentingan terhadap rakyat kecil. Saya mengangkat kisah ini bagi teman-teman semua, karena saya berharap rakyat Indonesia masih punya nurani terhadap ketidakadilan yang menimpa saudaranya. Tidak hanya terhadap kasus Prita Mulyasari masyarakat mampu berperan besar melawan ketidakadilan. Jika dahulu penjajah memecah belah bangsa agar tidak mampu bersatu dan melawan, kali ini ancaman itu datang dari tubuh bangsa ini sendiri. Banyak oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang saat ini duduk di atas sana semena-mena menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah. Mereka sadar bahwa kita semua cenderung digiring ke arah hidup individualis. Sadar bahwa kepekaan mulai layu di jiwa masyarakat. Lantas apalagi yang dapat kita perbuat selain kembali membiarkan hati nurani yang menggerakkan roda kehidupan.

RAISA AURORA
Mahasiswa Ekonomi Sumberdaya Lingkungan,
Fakultas Ekonomi Manajemen
Institut Pertanian Bogor

Tidak ada komentar: