Halaman

22 Januari 2010

Aku, seorang “PSK”

AKU SEORANG “PSK”

Elinah, XII AP-SMKN 1 Cikedung-Indramayu

Sekitar 15 menit aku menunggu. Akhirnya tetanggaku itu keluar dari ruangan samping dengan mami. Aku melihat, tetanggaku keluar dengan wajah yang sangat senang seperti habis mendapati nilai rapornya yang bagus. Tak kalah senengnya buat mami juga yang raut wajahnya penuh dengan bling-bling yang bersinar. Di tangan kanan tetanggaku, aku melitah sebuah amplop besar yang cukup tebal tengah di genggam erat dan aku sontak bertanya. “apa itu pak?” dia pun bilang, ini isinya uang yang katanya buat keluargaku di rumah agar bisa membawa ayah ke rumah sakit. Aku terdiam, di sini aku belum bekerja apa-apa tapi koq sudah bisa mendapatkan uang buat orang rumah. Aneh memang, tapi aku tidak berani menanyakannya. Setelah sebentar bersalaman, tetanggaku langsung pamit pulang meninggalkanku di tempat perantaun yang jauh dari rumah orang tuaku dengan seorang perempuan yang hampir keriput itu yang terus memandangiku sedari aku datang.

Malam pertama, aku di perlakukan sangat baik oleh wanita-wanita yang lebih gede dari aku yang memanggil ibu itu dengan sebutan mami juga. Sungguh cantik-cantik mereka itu. Dengan dandanannya yang feminim, rambut-rambutnya yang terurai panjang serta tubuh-tubuhnya yang tinggi dan semampai. Aku pun akhirnya tidur dengan nyenyak tapi sebelumnya, mami sempat mampir ke kamarku dan berbicara sesuatu. “Dewi, kamu istirahat yang cukup ya malam ini. Karena besok kamu akan mulai bekeja. Besok kamu harus bersiap-siap dan belajar merias wajahmu dan dandananmu sama kakak-kakak yang tadi” dengan senyuman manisnya yang selalu dia berikan. Akupun memberanikan bertanya, “ibu, kalau boleh aku tahu, aku akan bekerja apa ya bu besok?” mami pun bilang, “tenang saja, kamu tidak usah takut. Kamu kerjanya asyik koq. Sekarang, kamu tidak usah banyak bertanya, lebih baik kamu istirahat saja” “ya mami” jawabku.

Keesokan harinya, sekitar habis ashar waktu itu. Aku dibawa oleh salah seorang kakak yang menemaniku semalam ke sebuah tempat untuk biasa orang-orang di situ merias wajahnya. Dia bilang, “kamu nurut saja ya” dengan langsung mendudukanku di depan sebuah meja rias. Total, aku berubah drastis. Sampai-sampai aku tidak mengenali wajahku sendiri. Aku di sulap layaknya bintang sinetron yang sangat cantik. Setelah selesai berdandan, akupun di suruh memakai pakaian yang sudah disediakan oleh kakak yang tadi mendandaniku itu. Astghfirullah, siapa aku ini? Apa aku ini? Jadi apa aku sekarang? Sebelum pertanyaan-pertanyaan itu sempat terjawab oleh hati kecilku, kakak itu cepat-cepat membawaku ke sebuah tempat pemotretan. Aku di suruh bergaya yang di contohkan oleh seseorang yang ada di tempat itu. Aku semakin bingung, aku semakin tak mengerti. Tujuan dari semua ini itu apa sebenarnya? Aku harus kayak gini itu untuk apa?

Malam menjelang, ketika itu aku yang sedang beristirahat di kamar mami memanggil dan langsung membawaku keluar tanpa mengizinkan aku untuk bertanya aku mau dibawa kemana. Di sebuah tempat, yang sebelumnya aku tidak pernah tahu tempat itu. Di sana, banyak sekali orang-orang yang menari-nari, minum-minuman.

Oh, aku tahu ini adalah sebuah Bar. Aku teringat ketika tetangga di kampungku bercerita tentang tempat ia bekerja di Jakarta. Tapi, dia adalah seorang...... ah, tak sempat aku mengingat profesi temanku itu mami mengagetkanku. “Eh Dewi, ada yang mau ketemu kamu sekarang, cepat masuk kesini” langsung mami menarik tanganku ke sebuah ruangan yang tidak ramai seperti tadi.

Di situ, sudah menanti seorang lelaki bertubuh seperti tetanggaku namun tidak terlalu tinggi duduk di atas sofa sepertinya sedang menunggu seseorang. Umurnya sekitar usia ayahku. Ah ternyata, dia memang sedang menunggu. Ya, menunggu kami. Ketika kami mendekat, dia langsung berdiri dan tersenyum lebar melihatku. Mami berbicara sesuatu sambil dengan cara berbisik-bisik. Aku semakin aneh di sini, seolah-olah semuanya dirahasiakan oleh mereka.

Aku hanya harus nurut saja apa yang mereka perintahkan. Aku masih teringat akan teman sekampungku, yang waktu di kampung dia menceritakan tentang pekerjaannya. Oh, aku mengingatnya dia bekerja sebagai... “Dewi”, sahut mami. Mami telah memotong diamku yang tengah memikirkan temanku itu. “Dewi, tolong temani om ini ngobrol. Kamu nurut saja dan jangan banyak tanya. Ingat, mami udah bayar gajimu yang mami titipin buat ibumu lewat bang Warno kemarin. Paham kamu!!!” dengan nada yang cukup menekan. Aku jadi takut, tidak biasanya mami berkata keras itu terhadapku. Aku sebenarnya takut sekali waktu itu, namun aku tidak bisa berbuat apa-apa. Mami akhirnya meninggalkan kami berdua didalam sebuah ruangan sepi.

Sebentar mami pergi, bapak itu perlahan mendekati tempat dudukku. Aku semakin takut. Mau apa dia? “manis, kamu jangan takut ya. Tenang saja, sini dekat-dekat sama om” dia merayu dengan senyuman yang sangat manis. Tapi, aku bukannya mendekat tapi malah semakin menjauh. Tiba-tiba, dia merampas tanganku dan memintaku untuk ikut dia ke dalam sebuah kamar. Tenagaku tak kuat untuk menolak, dia begitu kuat dan keras menarikku ke dalam kamar. Aku semakin takut, aku yakin hal buruk akan menimpa diriku. Aku tersu meronta-ronta ingin terlepas dari genggaman iya. Namun, semakin aku berusaha untuk melepaskan diri, semakin kencang saja bapak itu menarikku dan kini malah melemparku ke atas ranjang. Aku benar-benar takut sekali, akupun mulai menangis. Aku terus berusaha untuk melarikan diri dan lepas dari cengkraman bapak itu. Diapun semakin kuat memegangi tanganku dan mulai marah hingga menamparku. Oh, sakit rasanya dan selalu nyeri terasa apabila aku mengingat kejadian itu. Aku mulai terkulai layu dan mulai tak berdaya, akupun menyerah. Ternyata, maksud dari lelaki setengah baya itu ialah menyetubuhi diriku. Musnah sudah semuanya, keperawananku telah terenggut dan tidak mungkin kembali lagi. Mataku terus beruraikan air mata hingga perbuatan bejat itu berlalu. Setelah puas dia menggauliku, dia lalu memberiku lumayan banyak uang dan kemudian pergi meninggalkan begitu saja. Pedih rasanya hati ini, derita batin kini ku alami.

Aku baru menyadari, ternyata tetanggaku yang membawaku ke Jakarta adalah penyalur Pekerja Seks Komersial (PSK), pantas saja teman-temanku atau tetangga-tetanggaku yang lain yang bekerja di Jakarta dan disalurkan oleh tetanggaku itu tidak jarang yang membawa uang sedikit. Sehingga, ibu telah menyuruhku untuk ikut disalurkan oleh dia ke Jakarta. Oh ternyata, uang yang telah waktu itu dibawa oleh tetanggaku yang hendak diberikan kepada ibu di rumah yaitu hasil dari penjualan keperawananku.

Ternyata, foto-foto diriku itu yaitu sebagai bahan tawar-menawar diriku kepada om-om itu. Tidak...... aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Aku, telah di perjual belikan!!! Dan yang masih aku bingung dan bertanya-tanya, apakah ibu tidak mengetahui kalau ternyata aku dipekerjakan seperti ini di Jakarta? Apa, malah ibu sudah mengetahui sebelumnya dan memang sengaja telah membiarkan diriku terjual seperti ini? Oh, kenapa ibu kandungku sendiri telah tega melakukan hal serendah itu terhadap anak kandungnya sendiri? Karena kepolosan dan kebodohanku serta aku yang memang tidak mengetahui apa-apa, segitu mudahnya aku diperdaya, di tipu, dibohongi, sampai diperjualkan seperti ini. Kini, semuanya telah terjadi, bayi yang sudah terlahir tidak mungkin bisa kembali lagi ke rahim ibunya. Bunga mekar itu sekarang telah kuncup, Mentari akan selamanya tertutup oleh awan dan Bulan akan tetap tertutup pekatnya mendung. Selamanya, diriku hina dan semua akan memanggilku PSK!!!

Tidak ada komentar: