Halaman

10 September 2008

Ramadhan Pakai Otak Mana??

Mengapa saat Ramadhan datang, kian banyak makhluk bermunculan dengan segudang sisi baiknya? Namun pada bulan berikutnya statistika menurun drastis. Tidakkah hal tersebut seumpama aji mupung? Sekedar berburu pahala pada musim panennya sehingga tak sadar diri ini telah main hitung-hitungan dengan Allah. Ibadah bukan lagi sebagai sarana mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, melainkan seperti pasar swalayan yang sedang ramai diskon. Penuh sesak tanpa celah sedikitpun, bahkan sekedar untuk menghela nafas.

Lalu, megapa harus ada Ramadhan? Mengapa masjid hanya penuh pada bulan Ramadhan? Mengapa harus ada frase “buka puasa” untuk sekedar menjalin silaturrahim? Setiap individu pun tak kalah gencar meningkatkan kualitas diri dengan menambah porsi shalat dan tilawah. 5 waktu. Dhuha. Tarawih. Tahajud. Witir. Tadarus. Itikaf. Sedekah. Infak. Zakat. Seolah deretan kata tersebut tercipta hanya sebagai makhluk musiman yang dapat berkeliaran bebas pada bulan Ramadhan. Sesaat setelah Idul Fitri, makhluk-makhluk tersebut nyaris tak lagi menampakkan kehadirannya. Takut atau memang sudah waktunya berhibernasi? Fenomena luar biasa, namun manusiawi, dan sepertinya akan terus begitu sampai akhir jaman. Kalau sudah begini, apa yang dapat kita banggakan di hadapan Allah?

Itulah jadinya jika kita beribadah hanya menggunakan otak kiri. Sekedar menghapal dan berhitung. Contoh yang paling umum, shalat. Berapa banyak dalam hidup kita mencoba menghadirkan Allah dalam shalat? Berapa kali kita melakukan shalat hanya sebatas menggugurkan kewajiban dan meraup pahala? Apa sebenarnya tujuan kita shalat? Bacaan shalat yang sepenuhnya Arab itu, apa kita tahu maknanya? Berapa jumlah surat dalam Alqur’an yang kita hapal? Apa kita tahu makna tersiratnya, minimal terjemahan bahasa Indonesianya? Jutaan manusia shalat 5 waktu setiap hari tanpa putus, bahkan beberapa telah mendekorasinya dengan shalat sunnah. Tapi mengapa kekejian dan kemungkaran masih merajalela? Bukankah shalat itu mencegah perbuatan keji dan mungkar?

Balik lagi ke fungsi fitrah otak kiri kita. Menghapal dan berhitung. Dalam shalat ada baiknya jika otak kiri tak mendominasi otak kanan. Menghapal surat-surat dalam Alqur’an bukannya tidak boleh. Tapi kalau hanya untuk kita pakai dalam shalat, hal tersebut tidak akan memberi manfaat lebih bagi diri sendiri dan orang lain.

Ada juga yang beranggapan bahwa makin panjang ayat yang kita baca, makin banyak pahalanya, karena tiap huruf terhitung sebagai 1 pahala kebaikan. Tak ada yang salah pada anggapan tersebut, bahkan 100% benar. Tapi sama saja tak memberi manfaat lebih bagi orang lain, jika tak disertai perbuatan nyata dalam mengamalkan isi Alqur’an. Sekedar hitung-hitungan, bukan?

Nah, akan lebih baik jika kita shalat menggunakan otak kanan. Kita semua tahu bahwa otak kanan berfungsi sebagai daya imajinasi dan kemampuan mengolah hal yang sifatnya global dulu baru mendetail. Coba mainkan imajinasi kita dengan sebuah kunci bernama: seolah-olah! Bayangkan seolah-olah kita melihat Allah! Bayangkan kita sedang bercinta dengan Sang Cinta Sejati. Rasakan aliran nikmat yang meresapi seluruh pelosok pori-pori tubuh. Ciumlah harum rindu yang tak terkatakan. Maka, diri ini akan tahu bahwasanya dekapan Allah begitu hangat merambati hati dan pikiran kita. Dan akan lebih indah jika kita pun tahu dan paham bacaan shalat, meski belum sepenuhnya. Buang jauh-jauh pikiran main hitung-hitungan denganNya! Karena pahala tak lebih berarti jika kita tak mendapatkan cintaNya.

Ramadhan masih bersisa 20hari lagi. Belum terlambat tuk katakan cinta padaNya. Gunakan otak kanan dalam mencapai intensitas, dan tingkatkan dengan otak kiri. Dengan membayangkan, kita jauh lebih mudah menghapal surat-surat cintaNya. (sebagaimana sebagian kita mungkin pernah membaca surat cinta dari seseorang sambil membayangkan wajah sang kekasih. Alhasil, huruf-hurufnya terpeta dalam otak kiri kita). Subhanallah…tentu hal tersebut bisa kita rasakan jika kita tahu makna yang terkandung dalam bacaan shalat, minimal terjemahan bahasa Indonesianya.

Tak ada lagi main hitung-hitungan. Dengan membayangkan, akan jauh lebih indah, dan kita tak hanya intens pada bulan Ramadhan. Di bulan lain pun, intensitas dengan Allah tetap bisa terwujud.

Wallahua’lam…

KREATif Jakarta_Ayu DRS

Tidak ada komentar: