Halaman

23 Februari 2011

MEMBACA, MENJADI COLUMBUS MASA KINI

KREATif DKI Jakarta : Noval Kurniadi


Columbus dilahirkan di Genoa, Italia, pada 1451. Tatkala berangkat dewasa, dia menjadi nahkoda kapal dan navigator. Ia pernah membujuk Ratu Isabella I untuk menyediakan anggaran demi memudahkannya melakukan ekspedisi ke Asia Timur.

Columbus adalah sang penjelajah dunia. Terbukti ia telah mengarungi berbagai negara dan menemukan Benua Amerika pada sekitar abad ke-15. Mungkin kita berpikir pada era globalisasi di saat harga barang melonjak naik dan minimnya perekonomian rakyat semacam ini menandakan betapa mustahilnya kita bisa berkeliling dunia seperti Columbus. Nyatanya, siapa saja bisa berkeliling dunia secara gratis, tanpa kapal, tanpa pesawat, bahkan lebih cepat ketimbang apa yang dilakukan Columbus. Yang harus kita lakukan hanyalah satu, yakni membaca.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, membaca berasal dari kata ‘baca’ yang berarti memahami arti tulisan. Ibarat sebuah pisau, maka membaca adalah tindakan mengasah otak agar tidak tumpul dimakan waktu. Membaca merupakan kegiatan yang positif karena kita bisa menambah wawasan serta mengembangkan daya imajinasi. Membaca lebih dari sekadar mempersiapkan mata dan memperhatikan tulisan saja, melainkan adalah sarana untuk berkeliling dunia secara gratis. Sebab kita bisa mengetahui segala hal yang terjadi di dunia tanpa harus keliling dunia. Membaca tak harus selalu berkaitan dengan buku pelajaran. Memahami arti tulisan yang tertera pada sastra, internet bahkan hingga Al-Quran juga bisa diartikan membaca.

Sungguh ironis. Banyak orang yang setuju dengan pepatah, “buku adalah jendela dunia”. Namun realitanya, perhatian generasi muda masa kini terhadap minat baca tergolong rendah. Terbukti Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2006 menyatakan bahwa masyarakat kita belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Orang lebih memilih menonton TV (85,9%) dan mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%) (www.bps.go.id). Sementara UNESCO pada 2005 menyatakan bahwa mahasiswa di negara maju memiliki rata-rata membaca selama delapan jam per hari. Sedangkan di Indonesia hanya dua jam per hari. Belum lagi laporan Human Development Report 2008/2009 yang dikeluarkan UNDP menyatakan bahwa minat membaca Indonesia berada di peringkat 96 dari negara di seluruh dunia, sejajar dengan Bahrain, Malta dan Suriname. Miris sekali bukan?

Sebaliknya, pola hidup remaja masa kini malah kurang memberikan manfaat, seperti hang out misalnya yang cukup diminati. Sebenarnya Columbus pun demikian, ia juga suka hang out. Bedanya, hang out yang dilakukan Columbus tidak sekadar ‘mencuci mata’ saja, tetapi bernilai positif. Terbukti perjalanannya dalam menjelajahi dunia banyak menginspirasi dan memberikan manfaat bagi orang lain. Sama halnya dengan membaca, maka itulah hang out yang positif. Sebab hanya bermodalkan bahan bacaan dan mata saja, kita sudah bisa berkeliling dunia secara gratis sehingga kita bisa menjadi orang berguna, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.

Menurut saya, akar dari permasalahan ini adalah kesadaran. Tidak mungkin seseorang menggemari suatu hal tanpa adanya kesadaran dan kemauan dari manusia itu sendiri. Misalnya, seseorang menyukai matematika karena ia sadar betapa pentingnya matematika dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal bisnis, dalam hal arsitektur bahkan dalam hal astronomi sekalipun pasti dibutuhkan matematika. Sama halnya dengan membaca. Maka jika kita ingin meningkatkan angka minat baca, yang harus kita lakukan adalah membangun kesadaran masyarakat, terutama dari diri sendiri terlebih dahulu. Alangkah ruginya kita jika selama belasan tahun mempelajari A-I-U-E-O, ba-bi-bu-be-bo bahkan hingga ‘ini Budi, ini Ibu Budi’ tetapi kita tidak menyadari betapa pentingnya budaya membaca dalam kehidupan sehari-hari.

Membaca bukanlah suatu pemaksaan mata, melainkan suatu kesenangan tersendiri. Jangan anggap sebagai suatu beban, tetapi anggaplah itu sebagai makanan yang lezat. Setiap kali kita membaca, maka setiap kali pulalah kita merasakan aroma yang nikmat. Resapilah rasanya yang manis, asem, asin dan pedas yang bercampur menjadi satu yang secara perlahan-lahan merasuki hidungmu. Cicipilah apa yang kamu baca lalu pahamilah artinya. Dengan begitu niscaya membaca tidak lagi menjadi ‘momok’ yang menjemukan, melainkan sebagai fantasi yang mengasyikkan.

Masa-masa remaja adalah masa-masa pencarian jati diri. Mereka cenderung mengikuti tren dan apa yang banyak diminati. Belakangan tren harajuku tenar di kalangan anak muda Indonesia. Jadi, andaikan kita berhasil mempengaruhi para remaja untuk gemar membaca, dengan membentuk suatu komunitas misalnya, tak mustahil kita bisa menjawab permasalahan ini.

Di samping itu keluarga juga turut berperan penting. Dalam buku Make Everything Well, khusus bab “Menciptakan Keluarga Sukses” (2005), Mustofa W. Hasyim menganjurkan agar tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga. Kalaupun tidak bisa, minimal orangtua mentradisikan budaya membaca kepada anak-anaknya sehingga akan tumbuh rasa cinta mereka terhadap membaca. Bayangkan, apa jadinya jika seluruh keluarga di negeri ini gemar membaca?

Pemerintah juga selayaknya melakukan pengadaan buku gratis, memberdayakan perpustakaan-perpustakaan dan meningkatkan sarana dan prasarana pendidikan. Dengan demikian pemerintah tak hanya menyelesaikan PR-nya demi memberantas kebodohan tetapi juga menggiring bangsa ini menuju komunitas berbasis kultur.

Kiranya itulah solusi-solusi yang dapat saya kemukakan. Mungkin terdengar sepele, namun akan berarti besar jika kita mau mulai melakukannya. Saya tak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika semua generasi penerus bangsa mencintai kegiatan membaca. Namun yang terpenting, saya selaku penulis akan puas karena ada Columbus-Columbus masa kini yang akan berkeliling dunia secara gratis.*

1 komentar:

Admin mengatakan...

Yup, stuju...,
mbaca adl gerbang melihat dunia...,