Halaman

19 November 2010

PEMBUNUH ANAK ITU BERINISIAL “S”

Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Rabu, 15 September 2010

KREATif DKI Jakarta : Noval Kurniadi

Sembari bertolak pinggang, seorang ibu berdiri di depan pintu rumahnya. Raut wajahnya tampak tak bersahabat. Kedua alisnya mengerut. Kesabarannya pun sudah habis. Betapa tidak, putra kecilnya tak kunjung pulang padahal hari sudah menjelang malam. Tampaknya ia keasyikan bermain bola.

Namun begitu anaknya pulang, si ibu malah menghujat anaknya dengan kata-kata negatif.

“Dasar anak nakal! Main saja sana biar puas!”

Kontan mata si anak berkaca-kaca seakan mau menangis. Apalagi setelah ibunya mengucapkan kata-kata yang berkonotasi negatif.

Lain lagi dengan si Eko. Ia malah diomeli oleh ibunya lantaran tidak berhati-hati ketika berjalan. Akibatnya gelas yang dipegangnya pun pecah. Saking kesalnya, si ibu menghujatnya, “Dasar anak bodoh! Makanya jangan ceroboh kalau berjalan!”

Dua cerita di atas bukanlah penggalan cerpen, melainkan sebuah realita kehidupan dimana anak sering menjadi korban dari pembunuh berinisal 'S'. Ya, “S”, apalagi kalau bukan sugesti.

Ya, mungkin si anak memang salah. Toh, mengapa ia pulang terlalu sore? Dan toh,mengapa ia tidak berhati-hati ketika berjalan? Siapa suruh pulang terlalu sore? Jalan kok tidak berhati-hati! Bukankah demikian inti dari dua cerita di atas?

Namun jika kita berpikir lebih terbuka pada dua kisah tersebut, sadarkah kita bahwa tak jarang kitalah yang menjadi penyebab hancurnya generasi muda dan anak-anak masa kini? Bukan karena diri mereka sendiri?

Ya, kerap kali kita dibuat geram oleh tingkah polah anak kecil. Entah itu karena kenakalannya, kecerobohannya, bahkan kelalaiannya. Namun etiskah jika kita mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan?

Tentu saja tidak etis. Marah boleh saja, namun kita, selaku orang dewasa selayaknya tidak langsung 'to the point' apalagi hingga mengucapkan kata-kata kasar terhadap lawan cilik yang kita hadapi, melainkan harus memberikan mereka pengertian dan pemahaman dengan baik tentang mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Sebab biar bagaimanapun juga anak punya hak untuk tumbuh kembang. Jadi jangan langgar hak mereka dengan mencap mereka dengan hal-hal yang berkonotasi negatif. Jadikan mereka sebagai subjek, bukan sebagai objek. Jadikan mereka sebagai kawan berdiskusi, bukan sebagai anak bawang yang masih belum pantas untuk didengar pendapatnya.

Alangkah bijaknya jika orangtua atau siapa saja menanggapi ulah nakal dan ceroboh si anak dengan penuh kelemahlembutan dan pengertian. Bukan menghujatnya. Semisal mengelus rambut sembari berkata, "Tak apa-apa sayang, ibu maafkan. Kamu anak ibu yang paling pintar kok. Namun lain kali tidak boleh diulangi lagi ya...".

Kata-kata dasar bodoh! dasar anak nakal! mungkin mudah untuk diucapkan. Tetapi sayang seribu sayang, justru itulah penyebab 'mudahnya' anak untuk menjadi pribadi yang lebih buruk. Semakin sering orangtua menanami atau mencap seorang anak dengan sugesti negatif maka semakin besar pula orangtua itu mengizinkan pembunuh itu bersemayam di otaknya. Pembunuh? Ya, sebab tanpa disadari, kata bodoh dan nakal yang entah sengaja ataupun tidak sengaja diucapkan akan masuk ke dalam otak bawah sadar. Lalu secara tidak langsung akan membunuh si anak dengan mengubah pribadinya sesuai dengan sugesti yang diterima. George Herbert Mead mengatakan bahwa masa anak-anak adalah masa preparatory stage dimana terjadinya proses meniru. Tak terkecuali jika si anak melakukan suatu perbuatan buruk karena merekam lalu meniru ‘cap negatif’ yang pernah dilontarkan kepadanya dalam kehidupan sehari-hari.

Loh, mengapa demikian? Tentu saja, karena pada dasarnya, otak adalah organ terhebat yang dimiliki oleh manusia, dimana tidak ada satu pun file yang terhapus dan seseorang akan berperilaku sesuai sugesti yang ditanamkan. Tergantung apakah itu bernilai negatif ataukah positif.

Tanpa disadari sugesti berpengaruh cukup besar terhadap perkembangan kepribadian seorang anak. Lagipula bukankah ucapan yang dilontarkan oleh orangtua adalah doa bagi anaknya sendiri? Termasuk ketika ia menghujat anaknya dengan kata-kata nakal dan bodoh?

Saya miris melihat kenyataan yang ada. Di lingkungan saya banyak terdapat anak kecil. Namun naas, tak jarang saya mendengar anak-anak itu mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya mereka ucapkan semisal, “bego lu!”. Belum lagi jika mereka mengucapkan kata-kata yang keluar dari kebun binatang. Mungkin terdengar simpel dan sepele, Namun justru itulah pertanda betapa prihatinnya keadaan generasi penerus bangsa ini. Jika sudah begini, tampaknya ada yang perlu diperbaiki dari cara mendidik si anak dalam keluarganya.

Kini yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa setiap kali anak berbuat nakal kita acapkali memberinya hukuman ketimbang memberikan apresiasi atau pujian atas kegiatan positif yang dilakukannya? Bukankah ini tidak adil? Layaknya sebuah neraca, maka neraca 'hukumanlah’ yang lebih berat.

Bukan salah anak jika ia berbuat nakal. Anak adalah insan yang masih bersih hatinya yang belum bisa membedakan antara yang baik dan buruk. Maka tak patut rasanya jika kita dengan serta merta menyalahi seorang anak. Namun orang dewasa, tak peduli siapakah dia, penanam benih cap negatif itulah yang seharusnya bertanggungjawab. Bukan mustahil anak-anak alias generasi penerus kita menjadi generasi berkualitas selama kita bijak dan dewasa dalam menyikapi 'uniknya' kepribadian anak.


Tidak ada komentar: