REMAJA RASIS? MASAK SIH!?
Mudaers pernah mendengar kata-kata panggilan kepada teman seperti Arab, Encek, Cina, Papua dan Ambon di sekolah? Hmm... Kami jamin pernah.
Yup! Panggilan-panggilan seperti itu sudah enggak asing lagi di telinga kita. Enggak sekali dua kali saja, tetapi kadang berkali-kali.
Ibarat sayur, enggak lengkap deh kalau enggak memakai garam. Sama saja seperti panggilan-panggilan itu. Rasanya enggak afdhol kalau kita enggak memanggil teman tanpa menyebut etnis ataupun ciri-ciri khusus mereka.
Contoh seperti ini. Ada teman kita yang berkulit hitam. Langsung kita berpikir kira-kira julukan apa yang pantas buat dia? Mmm…Aha! Apalagi kalau bukan black (hitam). Black? Ya, black! Namanya juga berkulit hitam, jadi cocoknya dipanggil dengan sebutan black saja.
Atau bisa saja kita memanggil dia dengan sebutan white. Tentunya dengan maksud yang berbeda. Toh orangnya kan berkulit hitam.
Mungkin teman yang memanggil dengan cara seperti itu karena ingin bernostalgia, mengingat pelajaran Bahasa Indonesia sewaktu SD tentang antonim (lawan kata), sekaligus ingin memperdalam Bahasa Inggris. Jadilah mereka memanggilnya dengan sebutan white yang adalah lawan kata dari hitam. Ampun deh...
MuDAers, masa-masa remaja adalah masa-masa yang menyenangkan. Enggak cuma tentang cinta-cintaan yang kerap membuat kita senyam-senyum sambil bayangin si ‘dia’ saja, tetapi juga tentang persahabatan. Yang terpenting adalah banyak hal dan pelajaran yang dapat kita petik pada masa remaja seperti ini.
Sayangnya sering kita enggak sadar kalau hal-hal kecil yang kita anggap sepele bisa menjadi besar. Enggak jarang kita lupa introspeksi diri terutama dalam soal pertemanan dan hubungan sosial.
Alih-alih menganggap sebutan-sebutan di atas sebagai panggilan akrab ataupun keisengan semata, bias-bisa kita justru terjebak dalam masalah. Sebab enggak taunya mereka enggak suka dengan julukan yang kita buat. Alhasil, simsalabim! Lahirlah masalah rasisme di dunia kita.
Tetapi tenang dulu, sebelum kita langsung membuat sebuah klaim, sebaiknya kita pahami dulu apa pengertian rasisme.
Ibu Ati Hidayati, guru Bimbingan dan Konseling (BK) SMA SMART Ekselensia Indonesia, Bogor, mengatakan, rasisme adalah sebuah sistem kepercayaan atau doktrin yang mengarahkan orang memiliki anggapan bahwa perbedaan biologis itu menentukan kemampuan suatu kelompok tertentu ke tingkat budaya yang lebih tinggi. Sehingga ada superioritas dibandingkan dengan (ras) yang lain.
Salah satu penyebab timbulnya rasisme dalam remaja adalah adanya anggapan bahwa 'seseorang atau suatu kelompok merasa lebih baik dibandingkan orang lain'. "Baik itu dari segi biologis, keturunan, suku, maupun hal lainnya.," kata Ibu Ati.
Benar enggak ya seperti itu? Kami berusaha mencari tahu alasan mengapa remaja menjadi pelaku rasisme dan apa motifnya.
Salah seorang narasumber yang mengaku kerap menjadi pelaku rasisme, Ipang (bukan nama sebenarnya), mengatakan, dia melakukan itu, memanggil sejumlah teman dengan sebutan Cina, Ambon, dan lain-lain, hanya untuk seru-seruan. “Biar dianggap gaul sama teman. Kalau enggak begitu, malah nanti gue yang dianggap aneh,”
Kalau mendengar alasan Ipang, rasis di kalangan remaja seakan-akan dianggap kecil. Tetapi, sebenarnya tanpa disadari, perilaku rasis semacam itu bisa berdampak buruk bagi kondisi psikologis teman-temna yang menjadi "korban".
Ibu Ningrum, guru BK SMAN 4 Jakarta, mengatakan, individu yang selalu dibeda-bedakan dalam pergaulan, meskipun hanya bahan candaan, dapat membuat individu bersangkutan menjadi lebih sensitif. Dia bisa merasa dirinya didiskriminasi, tertekan, dan yang lebih parah lagi adalah dapat menimbulkan hilangnya harga diri sehingga merasa tidak dihargai lagi.
Memang, semua itu tergantung dari penerimaan setiap individu. Ada yang langsung dibawa serius, ada juga yang beranggapan hal itu sebatas bercandaan.
Mungkin kita perlu belajar dari Presiden Amerika Serikat Barrack Obama dalam menghadapi rasis. Saat remaja dulu Obama sering diejek karena perbedaan fisiknya. Namun hal itu justru membuatnya termotivasi lagi dalam menjalani hidup sehingga ia berhasil membuktikan bahwa orang berkulit hitam juga pantas menjadi pemimpin. Wuih! Hebat kan?
HARUS DICEGAH
Enggak bisa dimungkiri, rasisme emang sering terjadi dalam dunia remaja. Kondisi kejiwaan remaja yang labil seakan membuktikan betapa sulitnya menghapus tindakan rasisme. Mengapa Bhinneka Tunggal Ika sulit direalisasikan?
Tapi MuDAers enggak usah khawatir. Rasisme bisa dan harus dicegah. Menurut Ibu Ati, yang dibutuhkan adalah penanaman nilai-nilai positif bagi anak sejak usia dini, baik oleh orangtua, sekolah, masyarakat, maupun media. "Jangan diberi pemahaman etnis tertentu lebih baik dibandingkan etnis anak tersebut atau sebaliknya," kata Ibu Ati.
Hmm… sepertinya lirik lagu ‘imagine’ The Beatles sangat terasa kalau rasisme dapat dicegah; “Imagine there’s no countries. It isn’t hard to do. Nothing to kill or die for. And no religion too. Imagine all the people living life in peace,”.*
TIPS MENGHADAPI SI RASIS
Buat kamu-kamu yang merasa sering dijadikan korban rasisme, kami punya beberapa tips nih guna mengatasi hal itu. Mutifar, salah seorang kawan peranakan tionghoa yang sering menjadi korban rasis berbagi kiat bagaimana agar sebagai korban dia kebal dari perkataan-perkataan yang enggak enak.
1. Belajar cuek
Cuek sangat dibutuhkan supaya kita enggak tumbuh jadi orang yang gampang tersinggung. Biar saja yang ngata-ngatain capek sendiri. Lagipula apa untungnya sih ngatain orang? Bener enggak?
2. Berani bilang enggak suka
Nah, kalau kadarnya sudah keterlaluan, kita bilang saja ke orangnya kalau kita enggak suka. Soalnya kadang-kadang orang nggak sadar kalau apa yang diucapkannya membuat orang tersinggung. Makanya, lebih baik kita bilang saja kalau kita enggak suka. Mudah-mudahan dia jadi enggak enak ngatain kita lagi.
3. Lapor ke guru BK
Ini berlaku kalau yang bersangkutan setelah berulang kali diajak bicara tetap saja melakukan hal yang sama. Laporkan saja guru BK.
PEMBANTAIAN OLEH NAZI
Bicara soal rasisme, MuDAers tahu enggak bagaimana awal terjadinya rasisme? Penasaran? Yuk simak!
Menurut beberapa sumber, rasisme mulai dikenal pada tahun 1930 yang digunakan sebagai istilah yang melukiskan pembantaian NAZI kepada Yahudi Eropa. Sama halnya dengan tindakan para penguasa di Amerika yang menerapkan hukum Jim Crow yaitu adanya perlakuan berbeda antara kaum kulit hitam dan kulit putih.
Menurut M. Fredrickson, Spanyol merupakan ikon negara lahirnya fenomena rasisme ini. Pada abad 12 sampai 13 pengikut Islam, Yahudi dan Kristen bisa hidup saling bertoleransi. Namun sayangnya, pada akhir abad 14 dan awal abad 15 timbul konflik antar orang Moor yang pada akhirnya memercikkan diskriminasi terhadap kaum Islam dan Yahudi.
Sementara di Indonesia, rasisme pernah terjadi terhadap etnis Tionghoa. Hal ini bermula pada zaman penjsajahan Belanda yang menerapkan politik Devide et Impera (politik memecah belah) dengan cara membagi strata sosial di wilayah jsajahannya, mirip seperti pembagian kasta.
Strata tersebut dibagi menjadi strata atas terdiri dari kaum Eropa, strata dua warga Tionghoa, Arab, dan warga pendatang stratra ketiga atau kasta terendah untuk warga pribumi.
Pada masa kepemimpinan almarhum Gus Dur larangan-larangan yang bersifat sentimen terhadap etnis Tionghoa dihapuskan. Salah satu buktinya adalah diperbolehkannya orang-orang Tionghoa merayakan perayaan Imlek dan bahkan dijadikan sebagai hari libur nasional.
*oleh Tim kompas MuDA KREATif 1 : Reza Firmansyah, Muhammad Ilman Mursyidan, Febianza Mawaddah Putri, Nenden Ayu Wulandari, Kurnia Sandi Girsang, Noval Kurniadi (dimuat di Kompas MuDA edisi 21 Januari 2011)
1 komentar:
kereenn infonya, ngebantu bgt...
soalnya gw lg nyari ttg info2 rasis di kalangan pelajar....
Posting Komentar