Aku berjalan di atas titian bambu yang goyah
Berbekal jiwa-jiwa sekuning jagung yang rapuh dan renyah
Mencoba sendiri tanpa lelah
Berpegang pada sayap-sayap Dewi yang tak pernah patah
Aku memintal hujan
Menjahit malam dan menyulam pagi
Menenun lumpur dan keringat
Terlalu pongah,
Untuk mencari bagian cerita lain dari hidupku
Aku ingin melukis cinta seperti Putri di Negeri Dongeng
Aku ingin menorehkan asa bersama Ksatria dan para peri
Aku ingin menyentuh dan merengkuh halusnya awan dalam genggamanku seorang
Aku selalu berkata aku ingin, aku selalu berkata aku, aku dan aku
Kesalahanku adalah tak pernah mengganti subjek itu dengan mata orang lain
Hanya aku, aku dan aku
Lukisanku kala itu terlalu muda,
Lukisan cintaku terlalu muda,
Warna-warna lukisanku adalah egoisme yang sesat
Bumbu-bumbu buai imajiku sesat
Lalu akhirnya,
Kanvasku merah terciprat darah
Warna-warna ceritaku pudar tertetesi airmata
Lukisan cintaku terluka,
Hancur berkeping-keping
Lenyap tak bersisa
Aku salah,
Aku lampaui batas
Aku tak puas
Aku mencari sesuatu yang sungguh telah kumiliki
Tak kupikir rumahku setia menanti
Rumahku,
Tempat lukisan cintaku menempel abadi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar