SUARA BIBIRNYA
Bibir-bibir itu telah terbungkam…
Ratusan tahun lamanya….
Yang kala itu dapat terbuka…
Tak hanya berbisik
Namun dengan suara lantang
Berani
Tegas
Dan kuat
Bibir bibir itu mampu bersumpah
Ia
Bagai Petir menggelegar
Di akhir bulan kesepuluh
Meski perjuangan suara-suara itu baru dimulai
Mulai memasuki
merasuki
relung hati dan jiwa
dari tubuh-tubuh insan yang tersiksa
Digerakkannya pikiran
Hati
Dan jemari
Untuk menghentikan tumbuhnya rasa sakit
Bersama, mereka buka tirai kelam
Agar cahaya kebenaran
Agar udara dan nafas kebebasan
Agar pemandangan kebahagiaan
Masuk dan merasuki
Ruang-ruang hati yang terkunci kesengsaraan
Agar suka cita selalu membahana
Adakah ini yang mereka mau?
Aku
Kita
Dapat menghirup udara bebas
Selalu dalam bahagia
Dalam cahaya-Nya
Kebenaran dan kebajikan
Dalam pelukkan sang Dewi kemakmuran
Ya…
Namun bukan yang ini
Yang melupakannya
Yang memenjaranya dalam barisan kata
Kertas lusuh
Yang seolah tiada bermakna
Terkubur dalam di tanah negeri
Tergerus hempasan tsunami
Letusan gunung, gempa bumi dan tanah longsor
Tergusur gelimang harta
Kebebasan dan kekuasaan
Terlupakan 200 juta anak-anaknya
Yang dihidupinya
Yang didiknya
Hingga kini
Detik ini
Ia tak ingin
Setiap baitnya hanya dihafal
Semalam sebelum kertas-kertas penuh Tanya datang
Tanpa ada yang tahu arti setiap maknanya
Apalagi melaksanakannya
Ia tak pernah minta…
Kata-katanya lembutnya
Menusuknya
Menggetarnya
Hanya digunakan saat menyatakan cinta
Saat merasakan manisnya cinta
Yang kemudian untuk saling memaki…
Memutuskan pertalian hubungan
Selebihnya hanya diganti
dengan deret kata-kata kasar
tak berbudaya dan berestetika
Ia tak akan pernah sudi
Ditumpuki manga tebal
Hiragana
Katakana
kanji
Karya bangsa yang pernah membungkamnya
Merampas bibir-bibirnya
Tidak akan
Tidak akan pernah ia kehendaki
Pergantian isi hati anak-anaknya
Yang tak ingin mengakui kaumnya sendiri
Memaki
Membenci
Mengganti
Dirinya dan kaumnya
Dengan yang lain
Andai ia mampu bicara
Dalam lelah ia menangis
Habis air matanya…
Kurang apa dirinya?
Ia bergelimang emas, minyak bumi dan kekayaan alam
Yang diinginkan setiap insan
Ia gendong anaknya dipunggung rentanya
Apa perlakuan anaknya sekali ia terima
Dengan sabar meski hatinya menangis
Merintih
Namun ketahuilah…
Ia selalu berdoa
Agar anak-anaknya
menjadi pemuda-pemudi yang baik
mengasihinya
selamanya
1 komentar:
Tahukah kalian?
Aku menangis sendiri membaca puisi ini....
Aku benar-benar tertusuk kata-kata yang aku tulis sendiri..
T_T
Semoga puisi ini nggak kadaluarsa meski sumpah pemuda udah lewat.
Posting Komentar