“Bangsa lain menyebut negerinya sebagai My Mother Land atau My Father Land. Tapi hanya bangsa Indonesia yang dengan tegas menyebut negerinya sebagai tanah airku.” Sebuah penuturan yang mengantarkan Agni Pratista menjadi Putri Indonesia 2006.
Tidak ada yang salah pada penuturan tersebut. Ini jelas menunjukkan bahwa si Putri masih menganggap Indonesianya adalah tanah airnya. Tapi sayangnya, oleh sebagian kita Indonesia masih dianggap “tanah asing” atau tanah yang “bukan benar-benar keluarga” kita. Membicarakan Indonesia berarti membicarakan “dia”, bukan “kami” atau “kita”. Apalagi kalau Indonesia kita serba kekurangan. Kurang dalam kemajuan teknologi, pemerataan sosial, maupun pendidikan. Seolah ada jarak yang tak terkatakan antara kita dengan Indonesia. Indonesia tetap negeri ayah dan ibu kita. Ini artinya Indonesia bukan benar-benar tanah air kita. Padahal Indonesia adalah tanah kita juga. Indonesia adalah tanah yang telah mencurahkan segenap perhatian dan kasih sayang kepada kita. Lewat perantara Indonesia, Tuhan menghadirkan kita ke bumi.
Lalu, mengapa terkadang kita merasa Indonesia bukan bagian dari diri kita? Hanya hati nurani yang pantas diajak bicara kalau keadaan itu akhirnya kita alami. Kita bisa bertanya kepada hati kecil kita, apa kita bisa ikhlas menerima bahwa Indonesia adalah tanah air kita. Jika jawabnya tidak, kita tanya lagi, sebenarnya siapa yang “cacat”, jiwa kita atau Indonesia. Analoginya seperti seseorang yang sulit menerima kenyataan bahwa salah seorang keluarganya cacat, baik fisik maupun mental.
Tak sedikit dari kita yang merasa kurang nyaman menjadi warga negara Indonesia. Apalagi bila kita sedang berbincang dengan warga negara asing tentang kehebatan negerinya yang lebih menakjubkan dari Indonesia. Keadaan Indonesia yang “cacat”, seperti menghapuskan semua “kebaikan” kita di mata dunia. Rasa malu tiba-tiba menyergap. Kita tak sanggup membayangkan bagaimana bentuk wajah kita saat itu. Jika ada “topeng” untuk menutupi rasa malu, dengan senang hati kita mau mengenakannya saat itu.
Alangkah kita semua ternyata secara tak sadar telah menjadikan Indonesia bagai “kekasih yang tak dianggap”. Padahal, kita semua paham betapa pentingnya kekasih dihadirkan Tuhan ke dalam hidup kita. Kekasih adalah pihak yang tahu banyak tentang kita, tahu rahasia kita, dan tidak akan membuka-buka atau menyebar keburukan kita. Kekasih bisa menjadi tempat curhat, menjadi pendengar yang baik, menyemangati kita di saat kita lemah, memberi masukan, dan membantu kita dalam suka dan duka, dengan penuh ikhlas, tanpa memandang perbedaan. Kehadiran kekasih membuat kita mendapat hikmah yang luar biasa sebagai pembelajaran kearifan hidup yang teramat berharga untuk kita kunyah.
Indonesia begitu dermawan. Tak henti menyedekahkan kekayaannya bagi siapapun yang menghuni bumi Indonesia. Tapi, apa saja yang sudah kita lakukan untuknya? Cukupkah dengan perayaan “17 Agustusan” yang kita gemuruhkan tiapa tahun, mampu melepasnya dari stigma “kekasih yang tak dianggap”? Jika saja kita memberinya kesempatan untuk berbicara, mungkin Indonesia lebih memilih untuk tidak merayakan ulang tahunnya. Indonesia merasa malu merayakan ulang tahunnya dalam keadaan “tertawan” atau “tidak merdeka”. Bermilyar-milyar uang yang dikeluarkan untuk membuat pesta mewah ulang tahunnya, lebih bermanfaat jika digunakan untuk menebus Indonesia dari “penjara”
Sesekali Indonesia juga ingin merasakan udara segar. Udara kemerdekaan yang rindu memasuki peredaran nafasnya. Udara kemerdekaan yang akan menerbangkan sayap-sayapnya ke langit peradaban dunia.
Selamat Ulang Tahun Indonesia!
Berbahagialah…
Kemerdekaanmu itu seperti pohon mawar,
bunganya tidak muncul dengan segera,
tapi kemunculannya pasti terjadi!
Dan kami berjanji,
akan selalu menyirami
pohon kemerdekaan yang telah ditanam 63 tahun lalu
Sebuah kesempatan,
Hanya itu yang kami harap darimu,
Indonesia tercinta…
Ayu DRS_KREATif Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar