Halaman

23 September 2011

Pelintir di Sana, Tambah Bumbu di Sini

Pelintir di Sana, Tambah Bumbu di Sini

KREATif+ Bogor: Raisa Aurora

Arus informasi yang seolah tiada henti, serta pesatnya perkembangan teknologi masa kini, membuat kita bisa memperoleh berita dari manapun, kapanpun, dan dimanapun. Berkat teknologi, GPRS kita bisa mengakses berita internet di handphone. Berita yang baru terjadi lima menit lalu dapat segera kita ketahui melalui internet, atau seringkali saat kita tengah menonton tayangan kesukaan kita tiba-tiba tertera tulisan “Breaking News” menyampaikan berita dadakan yang mengguncang. Bayangkan! Apa mungkin itu semua terjadi di era sebelum reformasi? Di era orde baru, kita tidak dapat dengan mudahnya memperoleh informasi. Selain faktor teknologi yang belum canggih, di era orde baru, pers masih bersifat sebagai corong pemerintah. Berita yang disampaikan ke masyarakat harus di bawah pengawasan pemerintah. Namun semenjak reformasi, kebebasan pers menjumpai titik terangnya. Kini masyarakat bebas bersikap kritis dan beropini berdasarkan informasi yang mereka peroleh.

Namun ada ganjalan yang saya rasakan berkaitan dengan kondisi pers saat ini. Jika saya perhatikan acara dialog interaktif yang mengundang narasumber atau reporter yang mewawancarai masyarakat, seringkali pertanyaan yang diajukan tidak bertujuan untuk menggali berita melainkan sekedar memojokkan si narasumber. Seperti sebuah wawancara terhadap seorang ibu yang dituduh telah menelantarkan anaknya.

Reporter : Mengapa ibu menelantarkan anak ibu?

Ibu : Saya nggak bermaksud untuk menelantarkan anak saya, mbak. Waktu itu saya rencananya mau kerja lembur. Maklum, mbak.. Saya nggak punya penghasilan tetap. Anak-anak mau dikasih makan apa? Jadi waktu itu saya pergi ke kontrakan suami saya (ibu ini telah hidup terpisah dengan suaminya) saya titip anak-anak saya karena saya mau pergi sampai malam. Biasanya suami saya datang jagain anak-anak, mbak.. Tapi kemarin ini dia nggak datang.

Reporter : Perasaan ibu bagaimana setelah menelantarkan anak-anak ibu? Ibu menyesal?

Ibu : Yah, saya menyesal, mbak.. Saya nggak mau ninggalin anak-anak lagi. Saya juga nggak tahu kalau suami saya nggak jadi datang saat itu. Saya kaget, mbak.. Setelah saya pulang kerja, kok tetangga pada bilang kalau anak saya ditelantarin…

Reporter : Jadi ibu nggak akan menelantarkan anak-anak ibu lagi ya, bu?

Ibu : Nggak

Menyimak sepenggal wawancara di atas, tidakkah merasa janggal dengan pertanyaan yang diajukan reporter? Sudah jelas si ibu tidak bermaksud meninggalkan anaknya, dia terpaksa harus bekerja serabutan tidak tentu waktu demi memberi makan anaknya. Seharusnya si suami yang diberi amanah untuk menjaga anak-anaknya itulah yang dipersalahkan, mengapa dia tidak menepati janjinya. Bukan si ibu yang menjadi kambing hitam dalam persoalan ini. Peran jurnalis (dalam hal ini si reporter) yang seharusnya meluruskan informasi, justru bersikap memojokkan si ibu dengan pertanyaan-pertanyaannya yang tidak relevan. Saat menonton berita ini saya gemas sekali menyaksikan si reporter yang tidak menangkap maksud perkataan si ibu. Selain itu, pemberitaan di televisi juga terus menerus menggunakan judul “Ibu Yang Menelantarkan Anaknya”. Padahal sudah jelas si ibu tidak pernah bermaksud menelantarkan anaknya.

Beberapa kali juga saya sering dibuat kaget dengan judul berita di koran yang bersifat kontradiktif. Setelah saya baca keseluruhan isi beritanya, ternyata lain judul lain isinya. Misalnya saya pernah membaca judul artikel “LSM Dukung Energi Tenaga Nuklir”, sontak saya kaget karena tidak mungkin LSM mendukung energi nuklir yang besar resikonya untuk meracuni lingkungan. Ternyata isinya menerangkan hanya segelintir LSM di Eropa yang mendukung pencanangan tenaga nuklir ini. Jika demikian, mengapa judulnya bukan “Sejumlah LSM Dukung Energi Tenaga Nuklir”. Saya paham bahwa judul suatu artikel harus mampu menarik perhatian, namun bukan berarti memutarbalikkan pemahaman masyarakat.

Kebebasan pers memang menjadi landasan utama berjalannya suatu demokrasi, namun setiap hal pasti ada batasnya. Jika kebebasan pers digunakan dengan semena-mena dan sekedar untuk mencari sensasi, maka tidak ada bedanya dengan acara gosip. Pers bertanggung jawab untuk menyampaikan berita dengan jujur kepada masyarakat dan tidak memihak siapapun kecuali kebenaran. Jika informasi yang disampaikan adalah hasil pelintir di sana dan tambah bumbu di sini, sulit diharapkan masyarakat kita dapat bersikap adil dan cerdas.

Kenyataan Miris dibalik Pemeran Slumdog Millionaire

Bagi para pencinta film, khususnya film India pasti tahu tentang film SLUMDOG MILLIONAIRE. SLUMDOG MILLIONAIRE adalah film Hollywood yang dibintangi Dev Patel dan disutradarai oleh Danny Boyle. Film ini bercerita tentang Jamal Malik, seorang pria yang mengikuti kuis Who Wants To Be A Millionaire dan berhasil lolos hingga pertanyaan terakhir. Namun lantaran Jamal berasal dari lingkungan kumuh di India, Jamal lantas dicurigai telah berbuat curang. Alhasil ia ditahan dan diinterogasi oleh kepolisian. Ternyata keberhasilannya menjawab semua pertanyaan tersebut karena ia mengalami semua itu dalam perjalanan hidupnya.

Film ini pertama kali diliris di Inggris pada 12 November 2008 dan di Mumbai, India pada 22 Januari 2009. Film ini pun berhasil meraih 8 penghargaan OSCAR. Hebat sekali, bukan?

Namun perlu teman-teman ketahui, terkuaklah kenyataan para pemain SLUMDOG MILLIONAIRE. Pemeran Salim kecil, Azharuddin Ismail, berasal dari kawasan kumuh di India. Tinggal di gubuk reyot yang setiap hari was was akan kelangsungan hidupnya. Pada suatu pagi ia diusir dari rumah kumuhnya oleh para polisi dan dalam waktu singkat, gubuk reyot yang menjadi tempat tinggalnya digusur bersamaan dengan gubuk-gubuk ilegal lainnya. Azhar hanya bisa melihat penggusuran rumahnya sembari memeluk ayam betina jantan miliknya. Ironis.

Lain lagi dengan keadaan Rubina Ali, pemeran Latika kecil ini dijual oleh Ayahnya, Rafiq, melalui internet dengan harga £200,000 (sekitar Rp 3,2 Milyar). Menurut pengakuan sang Ayah, hal ini terpaksa dilakukan agar kehidupan ekonomi mereka lebih baik. Ayahnya menyalahkan Hollywood karena walaupun anaknya terkenal dan film Slumdog Millionaire memperoleh Piala Oscar, kehidupan mereka tidak menjadi lebih baik.

Awalnya Rubina dibayar 150,000 rupe atau setara dengan £2,040 (sekitar Rp 33 Juta) dan dijanjikan sebuah rumah, namun sampai saat ini belum diterima hal yang dijanjikan oleh pihak studio. Walaupun begitu, diberitakan bahwa uang yang diterima oleh Rubina dipakai oleh ayahnya untuk berobat ketika ia mengalami kecelakaan saat bekerja sebagai pemotong kayu dan Rafiq juga membeli handphone agar para agen dapat menghubunginya jika menginginkan anaknya membintangi film.

Inilah salah satu kenyataan pahit yang melanda bintang film Hollywood. Ternyata nama besar tidak menjamin kehidupan lebih baik. Bagaimana dengan anak-anak Indonesia?