Halaman

27 November 2010

3 tahun Komunitas Remaja Pena Anak Kreatif (KREATif) Berkarya







Selamat Ulang Tahun!

Sobat KREATif, Hari ini, 27 November 2010 Komunitas Remaja Pena Anak Kreatif genap berusia 3 tahun. Terimakasih atas dukungan semua pihak sehingga kami bisa terus eksis menyuarakan hak-hak anak melalui tulisan. Semoga di tahun-tahun yang akan datang, KREATif dapat terus berkarya lebih baik lagi untuk Indonesia

“Otanjoubi omedetou gozaimasu KREATif~ Semoga kita bisa tambah sukses menyuarakan hak-hak anak dalam bentuk tulisan dan semoga bisa bertahan sampai kapanpun. Amin~”, Muhammad Akmal, KREATif DKI Jakarta.

“Selamat ulang tahun KREATif Indonesia. 3 tahun layaknya seorang manusia adalah waktu yang tepat untuk mulai belajar berlari dengan seimbang ya! Begitu juga dengan kita. Kita akan terus berusaha belajarberlari dengan konsistensi yang kuat mengejar tujuan kita bersama. Maju terus anak Indonesia. Saya cinta KREATif, saya cinta Indonesia!!! :)”

Aditya Gilank Pratama, KREATif DKI Jakarta.

“Tanjoubi omedetou gozaimasu! Selamat mengulang tahun kejayaan buat KREATif!! Harapan kita adalah menjadi komunitas remaja yang terkemuka! Semangat! \(>A<*)/”,

Nityaningrum Duatibumi, KREATif DKI Jakarta.

“Selamat ulang tahun yang ke-3 KREATif! Semoga tambah sukses, terus berkarya dan tidak pernah absen menulis untuk suara anak-anak Indonesia. I love you KREATif! :D”

Sarah Elyzabeth Gultom, KREATif DKI Jakarta.

“Selamat ulang tahun KREATif! Semoga semakin kreatif!”

Astari Maghfira, KREATif DKI Jakarta.

“Selamat ulang tahun KREATif. Semoga di tahun-tahun berikutnya kita bisa terus berkarya dan menyuarakan hak-hak anak. “

I Gusti Ayu Sri Gayatri K.D, KREATif Lombok, NTB.

“Happy 3rd anniversary for KREATif. More creative, more innovative… : )))”

Nicky Putri Santoso, KREATif Surabaya.

“Happy birthday KREATif. Selalu sehat, dan panjang umur, tambah kompak isinya dan tetap selalu berkarya :)”

Veneranda Dinda Putri N.D, KREATif DKI Jakarta.

“Bonne anne KREATif. Semoga semakin mampu menyuarakan suara anak Indonesia!”

Rahadian Wahyuaji, KREATif Yogyakarta.

“Happy birthday KREATif. Semoga bertambah kreatif. Semoga KREATif semakin jaya, sukses selalu membangun kreatifitas anak-anak Indonesia!”

Winner Indi Manega, KREATif Yogyakarta.


Seperti tumpeng yang menjulang dan selalu menjadi bagian dari peringatan ulang tahun, semoga KREATif juga dapat menjadi komunitas yang “menjulang” itu…


21 November 2010

Anak Indonesia Bicara Tentang Bencana

Tema permasalahan: Bencana Alam di Indonesia

Ini dia beberapa pendapat anak KREATif tentang bencana alam yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia:

1) Gayatri Kancana - KREATif NTB
Bencana alam memang tidak membuat semua orang Indonesia mengungsi dan menderita. Tapi, harusnya membuat kita bertanya, sudah berbuat apa kita sampai alam memberi peringatan keras.

2) Veneranda Dinda - KREATif Jakarta
Dengan bencana alam, secara langsung rakyat diperingatkan untuk lebih menjaga lingkungannya.

3) Vicko Gestyanto - KREATif Surabaya
Bencana yang terjadi di Indonesia ini sebenarnya bukanlah sebuah musibah yang harus disesali, melainkan sebuah peringatan dari TUHAN agar kita sadar akan perbuatan salah yang kita perbuat dan semakin cinta akan lingkungan di sekitar kita.

4) Gladistria P. - KREATif Yogyakarta
Sandiwara merapi entah sampai kapan, hanya Tuhan dan merapi yang tau. Mari berdoa, merenung dan tetaplah bersyukur. Mungkin ini salah salah satu cara Tuhan untuk menyadarkan kita dari segala perbuatan. ulurkan tanganmu, berbagi dan tersenyum lah :) .

5) Noval - KREATif Jakarta
Buat teman-teman yang sabar ya.... badai pasti berlalu kok!.

6) Rahardian Wahyuaji - KREATif Yogyakarta
Tuhan memberikan kesempatan bagi makhluknya untuk mempelajari alam ciptaan-Nya.

20 November 2010

MASIH ADA ‘TEROR’ DI NEGERI INI

KREATif DKI Jakarta: Noval Kurniadi


Pernahkah Anda mendengar kisah tentang Kevin Carter, seorang fotografer yang meraih penghargaan bergengsi Pulitzer 1994 lantaran fotonya yang fenomenal, tentang seorang anak Sudan yang berjuang keras menuju tempat pembagian makanan sementara di belakangnya ada seekor burung pemakan bangkai yang hendak memakannya?

Pernahkah pula Anda mendengar kisah tentang seorang ibu yang merebus sebuah batu besar demi menenangkan anak-anaknya yang sedang kelaparan? Lalu setiap kali anak itu bertanya ibunya selalu menjawab dengan nada serupa, “Tunggu, sebentar lagi! Makanannya belum matang nak!”. Berkali-kali anak-anaknya bertanya, berkali-kali pula ibunya terpaksa berbohong lantaran ketiadaannya pangan yang dimiliki. Hingga pada akhirnya si ibu harus berpikir keras demi nasib esok karena anak-anaknya sudah tertidur lelap.

Kebanyakan orang mendefinisikan terorisme adalah tindak kejahatan manusia yang bisa mengancam keamanan dan pertahanan suatu negara, seperti kasus bom Bali misalnya. Padahal jika kita berpikir lebih terbuka, arti ‘terorisme’ jauh lebih luas daripada itu. Sesuatu yang bisa mengancam serta meneror bangsa ini juga bisa dikategorikan sebagai tindakan terorisme, termasuk masalah kelaparan.

Jika tidak percaya, lihatlah berita-berita masa kini dan amatilah apa yang terjadi dengan saudara-saudara kita di luar sana! Ribuan orang berbondong-bondong hanya demi mendapatkan nasi aking, anak-anak menangis histeris bahkan hingga bayi-bayi mungil yang hanya bisa memamerkan gigi-giginya yang belum tumbuh sembari mendengar jeritan suara lambung. Terpaksa mereka hanya bisa memakan nasi yang dicampur garam, air tajin dan bahkan jika tidak memungkinkan, mereka hanya akan memakan ‘bualan dan janji-janji kosong’ dari para penguasa serakah saja.

Kelaparan adalah bukti dari masih adanya terorisme di negeri ini. Ia akan tetap melekat dalam identitas bangsa selama kita terus-terusan duduk manis di kursi malas. Buktinya kasus kelaparan dan malnutrisi masih menjadi teror yang mengerikan di negeri ini. Bahkan telah menjadi masalah yang perlu mendapatkan perhatian yang serius. Tidak ingatkah kita betapa susahnya generasi terdahulu demi mendapatkan makanan lantaran hasil panennya selalu diambil oleh para penjajah? Lantas mengapa ketika sudah merdeka keadaan itu kembali terjadi?

Jika masalah ini terus dibiarkan, maka jangan harap kita bisa melihat anak-anak alias generasi-generasi penerus dapat hidup dengan makmur. Kelaparan tak ubahnya ulat-ulat liar di sebuah kebun yang tak terurus dan anak-anak ibarat dedaunannya. Mereka menggerogoti kaum-kaum papa, memupuskan cita-cita anak bangsa dan bahkan menambah daftar panjang perjalanan buruk bangsa ini. Nah, jika sudah begini, apa yang harus kita lakukan sebagai generasi penerus khususnya dalam menangani masalah kelaparan dan malnutrisi?

Semakin terpenuhinya nutrisi di suatu negara maka semakin baik keadaan negara itu. Sebaliknya, semakin minimnya asupan nutrisi maka semakin memprihatinkan pula keadaannya. Bersyukurlah bagi anda yang bisa makan enak hari ini. Sebab apa yang bisa anda makan hari ini belum tentu bisa dimakan pula oleh saudara-saudara kita di luar sana.

Pada April 2010 saja misalnya, hanya satu dari empat kabupaten di NTT saja yang relatif makmur, yaitu kabupaten Sumba Barat Daya. Sementara Tiga kabupaten lainnya yakni Kabupaten Sumba Barat, Sumba Tengah dan Sumba Timur mengalami krisis pangan. Hal ini diakibatkan oleh musim kemarau yang datang lebih cepat sehingga mereka gagal panen. Alhasil, terpaksa sekitar 30.000 warga 121 desa dari seluruhnya 140 desa di kabupaten Sumba Timur memakan pisang karena tidak memiliki beras. Mungkin kita masih bisa tertawa lega pada saat itu. Namun bagaimana dengan keadaan anak-anak? Di saat mereka membutuhkan asupan gizi yang cukup, mereka malah harus puas dengan bualan para penguasa serakah. Sungguh ironis!

Jika ada genting yang bocor, sudah pasti kita memperbaikinya. Jika tidak, tentu akan ada rembesan-rembesan air yang masuk ke dalam rumah ketika hujan turun. Akibatnya, rumah menjadi basah dan keadaannya menjadi lebih parah. Sama halnya dengan kelaparan dan malnutrisi, maka sudah saatnya kita untuk bertindak. Selayaknya kita mengantisipasinya sebelum ‘rumah’ kita menjadi lebih buruk.

Menurut saya akar dari permasalahan ini adalah kesadaran. Khususnya terhadap ASI. Sungguh naas. Pemahaman masyarakat kita terhadap betapa pentingnya ASI masih tergolong minim. Padahal dalam dalam website YKAI dijelaskan bahwa berdasarkan rekomendasi dari UNICEF dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ASI eksklusif - yang berarti hanya memberikan ASI tanpa tambahan makanan atau cairan - selama enam bulan pertama dapat menyelamatkan nyawa setara lebih dari 30.000 anak Indonesia setiap tahunnya. Pemberian ASI sampai dengan usia dua tahun, dengan tambahan makanan pendamping, dapat juga membantu pertumbuhan anak-anak mencapai potensi mereka secara optimal. Maka dari itu kiranya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat perihal penekanan angka malnutrisi perlu ditingkatkan lagi.

Kelaparan erat kaitannya dengan rendahnya perekonomian rakyat. Kiranya membeli produk dalam negeri adalah salah satu solusi yang bisa kita lakukan. Minimal dapat membantu saudara-saudara kita dalam meningkatkan produktivitas produk dalam negeri. Sebab hal itu berpengaruh terhadap perekonomian rakyat sehingga pada akhirnya akan berdampak pada penurunan angka kelaparan dan malnutrisi di Indonesia.

Pemerintah juga harus bertindak proaktif. Salah satu caranya adalah dengan menegakkan kedaulatan pangan bangsa. Menurut Serikat Petani Indonesia (SPI) setidaknya ada tujuh cara yang harus ditempuh. Pertama, pemerintah selayaknya melakukan pembaruan Agraria. Kedua pemerintah semestinya memberikan hak akses rakyat terhadap pangan. Ketiga pemerintah harus menggunakan sumber daya alam secara berkelanjutan. Keempat pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan. Kelima, pemerintah harus melakukan pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi. Keenam pemerintah selayaknya melarang penggunaan pangan sebagai senjata. Terakhir, sebaiknya pemerintah memberikan akses kepada petani-petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian. Jika salah satu cara tersebut dilaksanakan, dengan demikian dapat dikatakan pemerintah tidak hanya berusaha dalam mengentaskan masalah kelaparan dan malnutrisi di Indonesia melainkan juga memenuhi hak anak bangsa, yakni hak hidup dan tumbuh-kembang.

Sebuah pepatah mengatakan, “Ada banyak jalan menuju Roma”. Tentu ada banyak cara demi mengatasi teror di negeri ini. Bukan mustahil teror itu dapat teratasi asalkan dengan catatan, maukah kita bertindak dan saling bahu-membahu demi membungkam jeritan lambung anak bangsa?

19 November 2010

PEMBUNUH ANAK ITU BERINISIAL “S”

Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Rabu, 15 September 2010

KREATif DKI Jakarta : Noval Kurniadi

Sembari bertolak pinggang, seorang ibu berdiri di depan pintu rumahnya. Raut wajahnya tampak tak bersahabat. Kedua alisnya mengerut. Kesabarannya pun sudah habis. Betapa tidak, putra kecilnya tak kunjung pulang padahal hari sudah menjelang malam. Tampaknya ia keasyikan bermain bola.

Namun begitu anaknya pulang, si ibu malah menghujat anaknya dengan kata-kata negatif.

“Dasar anak nakal! Main saja sana biar puas!”

Kontan mata si anak berkaca-kaca seakan mau menangis. Apalagi setelah ibunya mengucapkan kata-kata yang berkonotasi negatif.

Lain lagi dengan si Eko. Ia malah diomeli oleh ibunya lantaran tidak berhati-hati ketika berjalan. Akibatnya gelas yang dipegangnya pun pecah. Saking kesalnya, si ibu menghujatnya, “Dasar anak bodoh! Makanya jangan ceroboh kalau berjalan!”

Dua cerita di atas bukanlah penggalan cerpen, melainkan sebuah realita kehidupan dimana anak sering menjadi korban dari pembunuh berinisal 'S'. Ya, “S”, apalagi kalau bukan sugesti.

Ya, mungkin si anak memang salah. Toh, mengapa ia pulang terlalu sore? Dan toh,mengapa ia tidak berhati-hati ketika berjalan? Siapa suruh pulang terlalu sore? Jalan kok tidak berhati-hati! Bukankah demikian inti dari dua cerita di atas?

Namun jika kita berpikir lebih terbuka pada dua kisah tersebut, sadarkah kita bahwa tak jarang kitalah yang menjadi penyebab hancurnya generasi muda dan anak-anak masa kini? Bukan karena diri mereka sendiri?

Ya, kerap kali kita dibuat geram oleh tingkah polah anak kecil. Entah itu karena kenakalannya, kecerobohannya, bahkan kelalaiannya. Namun etiskah jika kita mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya diucapkan?

Tentu saja tidak etis. Marah boleh saja, namun kita, selaku orang dewasa selayaknya tidak langsung 'to the point' apalagi hingga mengucapkan kata-kata kasar terhadap lawan cilik yang kita hadapi, melainkan harus memberikan mereka pengertian dan pemahaman dengan baik tentang mana yang harus dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Sebab biar bagaimanapun juga anak punya hak untuk tumbuh kembang. Jadi jangan langgar hak mereka dengan mencap mereka dengan hal-hal yang berkonotasi negatif. Jadikan mereka sebagai subjek, bukan sebagai objek. Jadikan mereka sebagai kawan berdiskusi, bukan sebagai anak bawang yang masih belum pantas untuk didengar pendapatnya.

Alangkah bijaknya jika orangtua atau siapa saja menanggapi ulah nakal dan ceroboh si anak dengan penuh kelemahlembutan dan pengertian. Bukan menghujatnya. Semisal mengelus rambut sembari berkata, "Tak apa-apa sayang, ibu maafkan. Kamu anak ibu yang paling pintar kok. Namun lain kali tidak boleh diulangi lagi ya...".

Kata-kata dasar bodoh! dasar anak nakal! mungkin mudah untuk diucapkan. Tetapi sayang seribu sayang, justru itulah penyebab 'mudahnya' anak untuk menjadi pribadi yang lebih buruk. Semakin sering orangtua menanami atau mencap seorang anak dengan sugesti negatif maka semakin besar pula orangtua itu mengizinkan pembunuh itu bersemayam di otaknya. Pembunuh? Ya, sebab tanpa disadari, kata bodoh dan nakal yang entah sengaja ataupun tidak sengaja diucapkan akan masuk ke dalam otak bawah sadar. Lalu secara tidak langsung akan membunuh si anak dengan mengubah pribadinya sesuai dengan sugesti yang diterima. George Herbert Mead mengatakan bahwa masa anak-anak adalah masa preparatory stage dimana terjadinya proses meniru. Tak terkecuali jika si anak melakukan suatu perbuatan buruk karena merekam lalu meniru ‘cap negatif’ yang pernah dilontarkan kepadanya dalam kehidupan sehari-hari.

Loh, mengapa demikian? Tentu saja, karena pada dasarnya, otak adalah organ terhebat yang dimiliki oleh manusia, dimana tidak ada satu pun file yang terhapus dan seseorang akan berperilaku sesuai sugesti yang ditanamkan. Tergantung apakah itu bernilai negatif ataukah positif.

Tanpa disadari sugesti berpengaruh cukup besar terhadap perkembangan kepribadian seorang anak. Lagipula bukankah ucapan yang dilontarkan oleh orangtua adalah doa bagi anaknya sendiri? Termasuk ketika ia menghujat anaknya dengan kata-kata nakal dan bodoh?

Saya miris melihat kenyataan yang ada. Di lingkungan saya banyak terdapat anak kecil. Namun naas, tak jarang saya mendengar anak-anak itu mengucapkan kata-kata yang tidak sepantasnya mereka ucapkan semisal, “bego lu!”. Belum lagi jika mereka mengucapkan kata-kata yang keluar dari kebun binatang. Mungkin terdengar simpel dan sepele, Namun justru itulah pertanda betapa prihatinnya keadaan generasi penerus bangsa ini. Jika sudah begini, tampaknya ada yang perlu diperbaiki dari cara mendidik si anak dalam keluarganya.

Kini yang menjadi pertanyaannya adalah mengapa setiap kali anak berbuat nakal kita acapkali memberinya hukuman ketimbang memberikan apresiasi atau pujian atas kegiatan positif yang dilakukannya? Bukankah ini tidak adil? Layaknya sebuah neraca, maka neraca 'hukumanlah’ yang lebih berat.

Bukan salah anak jika ia berbuat nakal. Anak adalah insan yang masih bersih hatinya yang belum bisa membedakan antara yang baik dan buruk. Maka tak patut rasanya jika kita dengan serta merta menyalahi seorang anak. Namun orang dewasa, tak peduli siapakah dia, penanam benih cap negatif itulah yang seharusnya bertanggungjawab. Bukan mustahil anak-anak alias generasi penerus kita menjadi generasi berkualitas selama kita bijak dan dewasa dalam menyikapi 'uniknya' kepribadian anak.


18 November 2010


Komunitas Remaja Pena Anak Kreatif
(KREATif)

mengucapkan