Halaman

23 Desember 2009

Ketika Anak Diabaikan Keluarganya, Maka Anak Akan Mengabaikan Hidupnya

KREATif Jkt: Raisa Aurora

*Dalam tulisan ini, memang penulis lebih menyorot peran seorang ibu dalam keluarga. Mengutip sebuah pepatah "ibu adalah tiang negara" dan dalam rangka memperingati Hari Ibu yang jatuh tanggal 22 desember kemarin, tulisan ini penulis persembahkan kepada Anak-Anak Indonesia dan Ibu-Ibu kita.

Di kota-kota besar, tempat dimana pepohonan digusur gedung perkantoran dan suara kicau burung dikalahkan klakson mobil, sekian jenis pergeseran kehidupan terus terjadi di dalamnya. Ketika berbagai paham terus bermunculan dan seringkali saling berseberangan. Orang-orang disibukkan untuk memilih gaya hidupnya hingga asyik dengan dirinya sendiri. Lalu lintas kehidupan ini bisa membunuh mereka yang tidak siap menyeberang. Mereka yang galau dan panik ketika berada di persimpangan jalan. Mereka adalah anak-anak yang menginjak usia remaja.
Sama seperti menyeberang jalan, untuk menyeberangi setiap tahap kehidupan seorang anak juga harus berpegangan dengan orang tuanya. Mereka perlu dipandu untuk memilih jalur mencapai tujuan hidupnya. Orang tua laksana kompas dan peta, bekal utama kita menapaki dunia.
Sangat disayangkan di zaman ini masalah narkoba, budaya konsumtif, gaya hidup hedonis, dan berbagai tipuan membujuk remaja untuk tersesat. Tiap tahunnya berbagai data tentang jumlah anak-anak yang menjadi korban terus meningkat. Jika kita perhatikan di lingkungan sekitar, tayangan sinetron, maupun di situs-situs jaringan sosial, anak-anak digiring untuk berhura-hura, lari dari masalah dan hidup individualis. Menjadi pertanyaan di benak penulis, masihkah keluarga menjadi tempat pertama dan terakhir bagi anak-anak?
Semua masalah kenakalan remaja saat ini bermunculan karena mereka merasa ditelantarkan orang tuanya. Para remaja (anak-anak) ini ditelantarkan karena kesibukan orang tuanya ataupun kasus broken home. Akibat ego orang tua yang tidak mempedulikan kehidupan anak-anaknya, hak mereka sebagai anak tidak terpenuhi. Salah satu hak anak yang tertuang dalam Konvensi Hak Anak (KHA) adalah mendapatkan lingkungan keluarga dan pengasuhan alternatif. Sebagai tempat tumbuh kembangnya anak, rumah menjadi institusi paling awal dan terpenting bagi anak. Saat anak tidak merasa nyaman di tengah-tengah keluarganya, dapat dipastikan ada masalah yang mengganggunya. Ibarat efek domino, masalah ini akan merambat terus hingga tidak tertanggungkan lagi akibatnya.
Memiliki anak adalah karunia terbesar dalam kehidupan dan bukanlah sesuatu yang bisa dianggap main-main. Membesarkan seorang anak berarti mempersiapkan kehidupan baru untuk generasi dunia berikutnya. Jika orang tua tidak mampu menyiapkan mental dan ekonomi untuk membesarkan seorang anak, maka akan fatal akibatnya tidak hanya bagi anak itu sendiri tetapi juga bagi kehidupan selanjutnya.

PERNIKAHAN TANPA ANAK
Selama ini masih menjadi bahan gunjingan di tengah masyarakat ketika sepasang suami istri tidak memiliki seorang anak. Ada semacam tekanan bagi sepasang suami istri setelah menikah maka mereka harus segera memiliki momongan. Padahal bila secara mental dan ekonomi belum siap, sebaiknya memiliki seorang anak harus dipikirkan matang-matang.
Perlu ada sosialisasi di antara masyarakat bahwa pernikahan tidaklah harus memiliki seorang anak. Jika kehadiran seorang anak masih dipandang sebagai sesuatu yang wajib sementara pasangan suami-istri tersebut belum pantas untuk menjadi orang tua maka perlu dipertanyakan lagi relevansinya.
Sama halnya dengan pernikahan dalam hukum Islam yang dibagi-bagi menjadi beberapa jenis yaitu wajib jika mampu dan menginginkannya, sunnah jika mampu namun belum berkeinginan, makruh jika dia berniat namun belum mampu dan haram jika punya niat buruk di dalamnya. Maka memiliki seorang anak juga memiliki kategori, bila memang siap secara mental dan ekonomi maka itu adalah kewajiban namun jika belum sanggup maka tidak perlu disegerakan. Memutuskan untuk tidak memiliki anak jika belum mampu jauh lebih baik daripada segera memiliki anak namun belum pantas merawatnya. Masyarakat perlu dibudayakan agar menghargai pasangan suami-istri yang belum mau memiliki anak atau memutuskan untuk tidak memiliki anak karena alasan yang mereka miliki. Di satu sisi jika kemudian pasangan tersebut bercerai maka tidak akan mengorbankan pihak si anak.

BUDAYA PROFESI IBU RUMAH TANGGA
Seiring pergantian zaman ada pergeseran nilai di masyarakat dimana peran ibu rumah tangga kini dipandang sebelah mata. Jarang sekali kita temui perempuan-perempuan muda yang memiliki cita-cita menjadi seorang ibu rumah tangga. Menjadi ibu rumah tangga, itu juga merupakan "profesi mulia". Namun sayang, kaum perempuan sendiri tidak mau mengakui pekerjaan ibu rumah tangga sebagai profesi dan menganggap profesi ini adalah "inferior" atau pelecehan terhadap kemampuan intelektualitas perempuan.
Ibu rumah tangga bukanlah profesi inferior. Mendidik anak dalam keluarga juga diperlukan intelektualitas, paham yang mengatakan "buat apa sekolah tinggi-tinggi, jika akhirnya diam dirumah menjadi ibu rumah tangga" itu salah besar. Rumah adalah pusat pendidikan, pusat pelatihan etika dan intelektualitas bagi anak-anak. Tentu peran seorang ibu yang memberikan andil besar dalam pendidikan dasar ini. Sangatlah penting sebuah pendidikan dan intelektualitas yang dimiliki oleh seorang ibu sebagai modal mendidik anak-anaknya nanti.
Di Indonesia, mayoritas perempuan merasa sayang jika pendidikan tinggi mereka hanya berakhir di pekerjaan rumah tangga. Akibatnya anak Indonesia dari golongan ibu berpendidikan malah berada dalam asuhan para pembantu rumah tangga dan baby sitter. Memang anak-anak itu bisa menyelesaikan pendidikan yang setinggi-tingginya dan mendapat dukungan finansial yang kuat. Tetapi ada satu hal yang berbeda yaitu: pola pikir dan jiwa mereka bukan duplikasi dari orang tuanya mereka, tetapi duplikasi dari pembantunya.

KESEMPATAN BEKERJA BAGI IBU PARUH BAYA
Pemerintah perlu menyediakan kesempatan bekerja bagi perempuan-perempuan dalam usia paruh baya. Dalam hal ini mengambil contoh seorang ibu dengan anak-anaknya yang menginjak usia 17 tahun ke atas dimana pendampingan seorang ibu dalam kehidupan mereka sudah tidak sepenuhnya lagi. Seorang ibu apalagi jika ia berasal dari latar belakang pendidikan yang tinggi akan merasa jenuh karena perlahan tugasnya untuk membimbing anak tidak diperlukan lagi. Kemampuan intelektualitas mereka sebaiknya dituangkan dalam pekerjaan. Namun sayang mengingat lowongan pekerjaan saat ini tidak memperhitungkan tenaga kerja dengan usia 30 ke atas, maka tentunya pupuslah kesempatan bagi para ibu ini.
Di Jepang, ibu-ibu dengan usia paruh baya masih mendapat kesempatan bekerja jika mereka sudah tidak lagi berperanan penuh dalam membesarkan anaknya. Sebaiknya Indonesia dapat mengambil contoh kebijakan tersebut agar kaum ibu yang memilih untuk menjadi ibu rumah tangga bisa mengurus anak-anaknya sebaik mungkin tanpa takut kesempatannya untuk menyalurkan kemampuan hilang begitu saja karena faktor usia.

SOSIALISASI TELEPON SAHABAT ANAK (TESA) 129
TESA 129 merupakan layanan telepon bebas pulsa yang dioperasikan relawan di bawah koordinasi pemerintah dan lembaga pemerhati anak. Program ini untuk anak yang membutuhkan perlindungan atau berada dalam situasi darurat maupun anak yang membutuhkan layanan konseling. TESA 129 bisa menjadi saluran “curhat” bagi remaja yang bermasalah, atau pengaduan bagi masyarakat jika mereka melihat kasus pelanggaran hak-hak anak di lingkungannya.


RAISA AURORA
Mahasiswa Ekonomi Sumberdaya Lingkungan
Fakultas Ekonomi Manajemen
Institut Pertanian Bogor