Halaman

31 Agustus 2008

Joke 17an

Ayo Kibarkan Bendera setengah Tiang!

Di sebuah sekolah dasar, dalam rangka HUT RI ke 63, seorang guru mengajak para muridnya untuk memasang bendera Merah Putih di depan rumah masing-masing. Namun, sang guru menyuruh para murid untuk mengibarkan bendera setengah tiang. Ia juga menjelaskan makna pengibaran bendera tersebut.

Para siswanya, yang belum mengerti, jika bendera setengah tiang adalah lambang duka ketika ada tokoh nasional yang meninggal, langsung mengibarkan bendera setengah tiang di depan rumah masing-masing. Para orang tua yang menyadari keanehan dari "Pengibaran Bendera Setengah Tiang" tersebut, bertanya. "Nak, mengapa mengibarkan benderanya hanya setengah tiang? Sampai atas saja ya.", tanya si orang tua. Tetapi mereka jadi kaget ketika si anak menjawab, "Kata Bu Guru, ada yang meninggal tadi pagi. Dia hebat sekali. Dan Negara bersedih karena kematiannya. Masa Papa dan Mama nggak tahu? Kata Bu guru banyak diberitakan". Orang tua yang bingung bertanya lagi, "Siapa namanya?". "Rasa Kebangsaan dan Rasa Nasionalisme yang meninggal tadi pagi.", jawab si anak dengan percaya diri.

KREATif Bali_I Gusti Ayu Gayatri Kancana Dewi

18 Agustus 2008

Indonesia : "Kekasih Yang Tak Dianggap"

“Bangsa lain menyebut negerinya sebagai My Mother Land atau My Father Land. Tapi hanya bangsa Indonesia yang dengan tegas menyebut negerinya sebagai tanah airku.” Sebuah penuturan yang mengantarkan Agni Pratista menjadi Putri Indonesia 2006.

Tidak ada yang salah pada penuturan tersebut. Ini jelas menunjukkan bahwa si Putri masih menganggap Indonesianya adalah tanah airnya. Tapi sayangnya, oleh sebagian kita Indonesia masih dianggap “tanah asing” atau tanah yang “bukan benar-benar keluarga” kita. Membicarakan Indonesia berarti membicarakan “dia”, bukan “kami” atau “kita”. Apalagi kalau Indonesia kita serba kekurangan. Kurang dalam kemajuan teknologi, pemerataan sosial, maupun pendidikan. Seolah ada jarak yang tak terkatakan antara kita dengan Indonesia. Indonesia tetap negeri ayah dan ibu kita. Ini artinya Indonesia bukan benar-benar tanah air kita. Padahal Indonesia adalah tanah kita juga. Indonesia adalah tanah yang telah mencurahkan segenap perhatian dan kasih sayang kepada kita. Lewat perantara Indonesia, Tuhan menghadirkan kita ke bumi.

Lalu, mengapa terkadang kita merasa Indonesia bukan bagian dari diri kita? Hanya hati nurani yang pantas diajak bicara kalau keadaan itu akhirnya kita alami. Kita bisa bertanya kepada hati kecil kita, apa kita bisa ikhlas menerima bahwa Indonesia adalah tanah air kita. Jika jawabnya tidak, kita tanya lagi, sebenarnya siapa yang “cacat”, jiwa kita atau Indonesia. Analoginya seperti seseorang yang sulit menerima kenyataan bahwa salah seorang keluarganya cacat, baik fisik maupun mental.

Tak sedikit dari kita yang merasa kurang nyaman menjadi warga negara Indonesia. Apalagi bila kita sedang berbincang dengan warga negara asing tentang kehebatan negerinya yang lebih menakjubkan dari Indonesia. Keadaan Indonesia yang “cacat”, seperti menghapuskan semua “kebaikan” kita di mata dunia. Rasa malu tiba-tiba menyergap. Kita tak sanggup membayangkan bagaimana bentuk wajah kita saat itu. Jika ada “topeng” untuk menutupi rasa malu, dengan senang hati kita mau mengenakannya saat itu.

Alangkah kita semua ternyata secara tak sadar telah menjadikan Indonesia bagai “kekasih yang tak dianggap”. Padahal, kita semua paham betapa pentingnya kekasih dihadirkan Tuhan ke dalam hidup kita. Kekasih adalah pihak yang tahu banyak tentang kita, tahu rahasia kita, dan tidak akan membuka-buka atau menyebar keburukan kita. Kekasih bisa menjadi tempat curhat, menjadi pendengar yang baik, menyemangati kita di saat kita lemah, memberi masukan, dan membantu kita dalam suka dan duka, dengan penuh ikhlas, tanpa memandang perbedaan. Kehadiran kekasih membuat kita mendapat hikmah yang luar biasa sebagai pembelajaran kearifan hidup yang teramat berharga untuk kita kunyah.

Indonesia begitu dermawan. Tak henti menyedekahkan kekayaannya bagi siapapun yang menghuni bumi Indonesia. Tapi, apa saja yang sudah kita lakukan untuknya? Cukupkah dengan perayaan “17 Agustusan” yang kita gemuruhkan tiapa tahun, mampu melepasnya dari stigma “kekasih yang tak dianggap”? Jika saja kita memberinya kesempatan untuk berbicara, mungkin Indonesia lebih memilih untuk tidak merayakan ulang tahunnya. Indonesia merasa malu merayakan ulang tahunnya dalam keadaan “tertawan” atau “tidak merdeka”. Bermilyar-milyar uang yang dikeluarkan untuk membuat pesta mewah ulang tahunnya, lebih bermanfaat jika digunakan untuk menebus Indonesia dari “penjara”

Sesekali Indonesia juga ingin merasakan udara segar. Udara kemerdekaan yang rindu memasuki peredaran nafasnya. Udara kemerdekaan yang akan menerbangkan sayap-sayapnya ke langit peradaban dunia.

Selamat Ulang Tahun Indonesia!

Berbahagialah…

Kemerdekaanmu itu seperti pohon mawar,

bunganya tidak muncul dengan segera,

tapi kemunculannya pasti terjadi!

Dan kami berjanji,

akan selalu menyirami

pohon kemerdekaan yang telah ditanam 63 tahun lalu

Sebuah kesempatan,

Hanya itu yang kami harap darimu,

Indonesia tercinta…

Ayu DRS_KREATif Jakarta

15 Agustus 2008

Tuhan Tahu Untuk Mereka

Tatapan yang memilukan bagiku
Mereka memandangku dengan tersenyum
Tapi, aku memandang dengan tetesan air mataku
Entah apa artinya itu
Mereka begitu senang
Membentangkan tangan mereka
Untuk mendekap kami
Itulah yang terjadi
Ketika aku dan kawan – kawanku
Berkunjung ke sebuah panti asuhan
Tempat dimana anak – anak seusia kami tinggal
Tanpa orang tua mereka yang dikasihi
Betapa beruntungnya diriku dan kawanku
Kami tak tahu harus berbuat apa
Bila kami bernasib seperti mereka
Tuhan,
Biarkan mereka bahagia dengan cara Mu
Kasih Mu yang Kau berikan pada mereka
Yang kami tak tahu apa itu

By: KREATif – Bali_Noe

Sahabat Baikku

Selembar kardus
Benda yang lebih tinggi sedikit dari tubuhku
Benda yang selalu aku bawa
Benda yang selalu setia menemaniku
Saat menjelang sunyi
Semua mimpi – mimpiku
Hanya dia yang tahu
Hanya dia yang mengerti
Dan selalu ajariku bertahan
Tuhan,
Terima kasih telah beri aku sahabat terbaik
Setidaknya aku punya tempat untuk berbaring
Merebahkan tubuhku
Dan hilangkan rasa letihku
Inilah nasibku sebagai anak jalanan
Yang tak tahu harus berpijak
Aku hanya ingin Tuhan bangga padaku
Pada semua yang aku lakukan hari ini
Tersenyum padaku dan bilang:kau akan bahagia

By: KREATif – Bali_Noe

Sambutan dari KREATif Bali

Indonesia. Satu kata yang tak asing di telinga kita dan sudah banyak menjadi perbincangan dimana–mana, bahkan sampai di luar negeri sekalipun. Siapa yang tak kenal Indonesia dengan pesona seribu pulau? Indonesia menawarkan sejuta harapan di tubuh pertiwi ini dengan segala kekayaan yang ia miliki. Mulai dari kekayaan alam, kekayaan budaya sampai bibit–bibit unggul generasi anak bangsa. Apa kabar anak Indonesia? Semoga baik dan sehat selalu. Berbicara tentang anak Indonesia, tak jauh dari kehidupan kita karena kita sendiri juga anak Indonesia. Sebagai anak bangsa, tentunya kita mencintai Indonesia seutuhnya, kita masih terus maju untuk membangun masa depan Indonesia dan membawa Indonesia tampil sebagai yang terbaik di mata dunia kelak.
Apa kata dunia bila permata pertiwi dirusak oleh orang tak bertanggung jawab. Apa karena alasan ekonomi hak–hak permata bangsa dipertaruhkan? Mungkin tak seharusnya begitu. Banyak anak bangsa yang selama ini beralih profesi menjadi tulang punggung keluarga yang sebenarnya masih harus merasakan nikmatnya dunia anak– anak dengan mengenyam pendidikan. Tak begitu banyak orang yang peduli akan pentingnya pendidikan bagi anak–anak mereka. Mereka berdalih bahwa uang adalah segalanya untuk mempertahankan hidup daripada pendidikan yang notabene sekarang malah menjadi momok yang menakutkan karena saking mahalnya biaya. Begitu pelik, antara pendidikan dan perekonomian yang tak akan ada habisnya dan selalu menjadi perdebatan entah dimana ujungnya. Memang benar adanya, tapi tidak lantas menjadikan permata bangsa, menjadi sesorang yang sama sekali tak tersentuh pendidikan. Bagaimanapun juga, mendapatkan pendidikan adalah salah satu hak anak. Setidaknya, mereka tidak dibebankan untuk menanggung kewajiban orangtua mereka. Banyak yang menyalahgunakan keadaan ini. Merekalah orang–orang yang sering mengeksploitasi, lebih tepatnya memperkerjakan anak – anak di bawah umur dan menjadikan mereka para peminta atau banyak yang marak dan lebih keji adalah menjadikan mereka sebagai komoditi yang layak diperjualbelikan kepada para lelaki yang ingin memuaskan nafsu. Itukah gambaran permata bangsa yang terhimpit labirin perekonomian.
Perihatin. Dimana hati nurani mereka?. Pernahkah mereka berpikir akibatnya. Moral yang bobrok dan dengan teganya mereka memperlakukan anak-anak seperti itu. Jangan menyalahkan pemerintah ini dan itu. Sebagai remaja yang peduli akan nasib permata bangsa, mari kita bantu pemerintah untuk menyadarkan masyarakat yang sama sekali tak peduli dengan keadaan ini. Anak–anak yang demikian, tak memiliki daya dan hanya keterpaksaan yang membawa mereka dalam lembah hitam. Bayang – bayang dosa sudah tak dihiraukan lagi, yang terpenting adalah mempertahankan hidup. Orangtua mana yang tak menangis bila mengetahui putri mereka jatuh dalam lembah seperti itu, bujuk rayu dengan imbalan yang menggiurkan dan tentu saja dengan kebohongan. Lebih waspada. Yap, itu yang harus dilakukan. Kalau semua itu terjadi pada permata bangsa, mau dibawa kemana nasib bangsa kita ini? Jadi, sebagai insan yang peduli dengan hal ini harusnya melakukan pendekatan sosial terhadap mereka agar dapat terlepas perlahan dari itu semua.

KREATif-Bali: Noe
Denpasar, 27 Juli 2008

Perayaan HAN, Masihkah Semeriah Dahulu?

Hari Anak Nasional (HAN) yang dirayakan setiap tanggal 23 Juli, dimaknai dan dirayakan dengan berbeda-beda oleh setiap orang atau instansi. Ada yang menganggapnya sebagai hari dimana orang dewasa harus memberi perhatian lebih kepada anak-anak, hari dimana anak-anak dapat bebas berbuat sesuka hatinya, hari dimana para orang tua harus sibuk mempersiapkan anak mereka mengikuti pawai Hari Anak Nasional.
Berbagai cara memaknai HAN menimbulkan pula berbagai cara dalam perayaannya. Banyak cara dilakukan, misalnya dengan mengadakan pawai di jalan-jalan protokol, lomba untuk anak-anak, pemberian penghargaan terhadap siswa berprestasi, bakti sosial untuk anak-anak kurang mampu.
Di daerah saya, Mataram, NTB, sejak saya kecil dulu pemerintah setempat mengadakan Pawai Hari Anak. Tepat pada tanggal 23 Juli setiap tahunnya, ratusan bahkan ribuan siswa dari Taman Kanak-kanak (TK) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA) mengenakan pakaian adat dari berbagai daerah di Indonesia. Selain pakaian adat, ada pula yang memakai pakaian sesuai profesi yang mereka cita-citakan, seperti pakaian polisi, tentara, pilot, pramugari, dokter, dan sebagainya. Selain itu, musik tradisional daerah yaitu Gendang, Beleq, serta tarian-tarian tradisional seperti Rudat dan Gandrung juga ditampilkan. Para orang tua turut mempersiapkan anaknya mengikuti pawai, sedangkan yang tidak menjadi peserta pawai biasanya mengajak anak mereka menyaksikannya.
Para pejabat daerah juga turut melepas rombongan pawai ini. Tak jarang pawai ini dilepas langsung oleh Gubernur NTB atau Walikota Mataram. Barisan para siswa ini pun melewati jalan-jalan protokol kota. Setiap barisan dari masing-masing sekolah membawa spanduk warna-warni yang berisikan nama sekolah dan slogan tentang anak. Misalnya, “Melalui HAN, kita wujudkan anak-anak Indonesia yang berprestasi dan beriman.” Akhirnya, acara pawai ini sendiri menjadi acara paling ditunggu segenap lapisan masyarakat setiap Hari Anak Nasional tiba.
Namun sayang, beberapa kali pawai HAN ini sempat tidak diselenggarakan di kota saya. Entah karena alasan apa yang saya sendiri pun tidak paham. Hal ini sempat membuat saya dan teman-teman melupakan tanggal 23 Juli tersebut. Ini juga dialami oleh anak-anak lain karena kurang semaraknya perayaan HAN di daerah. Serta kurangnya perlibatan anak-anak dalam acara ini. Padahal, HAN bisa dibilang merupakan “Hari ulang tahun kedua” anak-anak Indonesia.
Sekarang pawai HAN mulai diselenggarakan lagi di daerah saya, walaupun tidak lagi sesemarak dulu. Apakah karena kurangnya pemberitahuan ke sekolah-sekolah akan adanya pawai tersebut, tidak banyak pejabat penting yang menghadirinya, atau karena pawai HAN jarang dilaksanakan? Jelas saya merasa antusiasme untuk menyaksikan dan berpartisipasi dalam acara ini menurun.
Demikian pula hal yang saya rasakan ketika mengikuti acara perayaan HAN yang berbentuk forum diskusi masalah anak. Anak-anak seringkali dijadikan “boneka” oleh orang dewasa. Ank-anak diundang untuk menyampaikan pendapat, tapi dalam kenyataannya, orang dewasa lebih banyak berbicara dan memonopoli. Lalu anak-anak hanya bisa terdiam seperti boneka. Ketika seseorang berbicara dengan nada meninggi dan mengkritik pemerintah, maka semua orang akan bertepuk tangan tanpa ada tindak lanjut.
Apakah hal-hal seperti ini yang kita inginkan untuk mengisi acara HAN?
Bagi saya, apapun dan bagaimana pun cara seseorang memaknai dan merayakan HAN, tetap harus ada tujuan di dalamnya, yaitu mengingatkan orang dewasa _baik pemerintah maupun masyarakat luas_ serta anak-anak Indonesia sendiri akan keberadaan anak serta hak-haknya dalam kehidupan bermasyarakat. Perayaan ini juga bertujuan agar anak-anak memahami hak-haknya, agar mereka bisa menggunakan hak-haknya sesuai dengan batas kewajaran. Sehingga acara tidak langsung mengajak orang-orang dewasa untuk menghargai anak-anak sebagai bagian dari masyarakat serta berhenti memandangnya sebelah mata.

KREATif:
I Gusti Ayu Sri Gayatri K.D.
Mataram, Nusa Tenggara Barat